Istilah batubara merupakan istilah yang luas untuk
keseluruhan bahan yang bersifat karbon yang terjadi secara alamiah. Batubara
dapat pula didefinisikan sebagai batuan yang bersifat karbon berbentuk padat,
rapuh, berwarna coklat tua sampai hitam, dapat terbakar, yang terjadi akibat
perubahan atau pelapukan tumbuhan secara kimia dan fisika (dalam “Kamus
Pertambangan, Teknologi dan Pemanfaatan Batuabara”, Silalahi, 2002).
Sedangkan dalam pengertian geologi batubara oleh Schoft (1956) dan Bustin, dkk
(1983) (dikutip dari Rahmad, B., 2001) lebih spesifik mendefinisikan batubara
sebagai bahan atau batuan yang mudah terbakar, mengandung lebih dari 50% hingga
70% volume kandungan karbon yang berasal dari sisa-sisa material tumbuhan yang
terakumulasi dalam cekungan sedimentasi dan mengalami proses perubahan kimia
dan fisika, sebagai reaksi terhadap pengaruh pembusukan bakteri, temperatur,
tekanan dan waktu geologi.
II.1.1 Tempat Pembentukan
Batubara
Dalam geologi batubara dikenal dua macam teori untuk
menjelaskan tempat terbentuknya batubara (Sukandarrumidi, 1995), yaitu :
1.
Teori Insitu
Teori ini mengatakan bahwa bahan-bahan pembentuk
lapisan batubara, terbentuknya di tempat dimana tumbuh-tumbuhan asal itu
berada. Pada saat tumbuhan tersebut mati sebelum mengalami proses transportasi
segera tertutup oleh lapisan sedimen dan mengalami proses pembatubaraan (coalification).
Jenis batubara yang terbentuk dengan cara ini mempunyai penyebaran luas dan
merata, kualitasnya relatif baik karena kadar abunya relatif kecil.
2.
Teori Drift
Teori ini menyebutkan bahwa bahan bahan pembentuk
lapisan batubara terjadinya ditempat yang berbeda dengan tempat tumbuhan semula
hidup dan berkembang, dengan demikian tumbuhan yang telah mati diangkut oleh
media air dan berakumulasi disuatu tempat, tertutup oleh batuan sedimen
dan mengalami proses pembatubaraan. Batubara ini mempunyai penyebaran tidak
luas, tetapi dijumpai di beberapa tempat, kualitas kurang baik.
II.1.2 Tahap
Pembentukkan Batubara
Pada dasarnya proses pembentukan batubara dapat dibagi
menjadi dua tahap (Diessel, 1986), yaitu :
1.
Tahap Biokimia (Biochemical Stage)
Merupakan tahap pertama dalam proses pembentukan batubara.
Pada tahap ini terjadi proses pembusukan sisa-sisa material tumbuhan dan
penggambutan (peatification), yang disebabkan oleh bakteri ataupun
organisme tingkat rendah lainnya. Oleh karena proses tersebut maka terjadi
pelepasan kandungan hidrokarbon, zat terbang dan oksigen disertai penyusunan
kembali molekul-molekul bahan tersisa, dan sebagai akibatnya terjadi penambahan
kandungan karbon pada maseral batubara.
2.
Tahap Fisika-Kimia (Physico-Chemical
Stage)
Setelah tahap biokimia, kemudian dilanjutkan dengan
tahap fisika-kimia. Pada tahap ini terjadi proses pembatubaraan yang mana
gambut yang sudah terbentuk berubah menjadi berbagai macam peringkat batubara
oleh akibat pengaruh temperatur, tekanan dan waktu geologi. Peningkatan
peringkat batubara pada proses ini ditandai dengan bertambah gelapnya warna,
kekerasan dan perubahan pada bidang belah batubara, seturut peningkatan
temperatur, tekanan dan lama waktu geologi.
II.1.3 Faktor-faktor Pembentukan
Batubara
Dari berbagai teori yang menerangkan tentang
terbentuknya batubara, terdapat kesepakatan mengenai faktor-faktor yang saling
berhubungan dan saling mempengaruhi, yang mempunyai peranan penting didalam
pembentukkan batubara dalam suatu cekungan. Faktor-faktor tersebut yaitu:
1.
Akumulasi Sisa Tumbuhan-Tumbuhan (Bahan
Organik)
Akumulasi sisa tumbuh-tumbuhan dapat secara insitu
maupun hasil hanyutan (allochotonous), namun akumulasi ini harus
terdapat dalam jumlah yang cukup besar dan terletak pada daerah yang digenangi
oleh air, yang mana nantinya dapat dijadikan daerah pengendapan bagi batuan
sedimen klastik. Keadaan ini dapat dicapai dari produksi tumbuhan yang tinggi,
penimbunan secara perlahan dan menerus yang diikuti dengan penurunan dasar
cekungan secara perlahan. Produksi tumbuhan yang tinggi terdapat pada iklim
tropis dan sub tropis, sedangkan penimbunan secara perlahan dan menerus hanya
terjadi dalam lingkungan paralik dan limnik, yang memiliki kondisi tektonik
relatif stabil.
2.
Bakteri dan Organisme Tingkat Rendah Lain
Merupakan faktor yang menyebabkan perubahan sisa
tumbuhan-tumbuhan menjadi bahan pembentuk gambut (peat). Kegiatan
bakteri dan organisme tingkat rendah lain akan merusak akumulasi sisa
tumbuh-tunbuhan yang telah ada dan merubahnya menjadi bahan pembentuk gambut
berupa massa berbentuk agar-agar (gel), yang kemudian terakumulasi
menjadi gambut.
3.
Temperatur
Temperatur panas terbentuk oleh timbunan sedimen
diatas lapisan batubara dan gradien panas bumi. Efek panas dari faktor ini
menimbulkan proses kimia dinamis (geokimia) yang mampu manghasilkan
perubahan fisik dan kimia, dalam hal ini merubah gambut menjadi berbagai jenis
dan peringkat batubara. Proses ini merupakan tahap kedua pada proses
pembatubaraan (coalification). Selain panas yang dihasilkan karena
timbunan sedimen diatas lapisan batubara dan gradien panas bumi, juga dapat
dihasilkan oleh adanya intrusi batuan beku, sirkulasi larutan hidrotermal dan
struktrur geologi.
4.
Tekanan
Tekanan sangat penting sebagai penghasil panas, namun
juga dapat membantu melepaskan unsur-unsur zat terbang dari lapisan batubara,
yang dikenal sebagai proses devolatilisasi. Proses ini
akan lebih efektif apabila lapisan batuan diatasnya bersifat permeabel dan
porous, sehingga batubara yang berada pada lapisan batupasir akan mengalami
proses devolatilisasi yang lebih efektif dibandingkan lapisan batulempung.
5.
Waktu Geologi
Pengaruh pembentukkan batubara tidak terlepas dari
lamanya waktu pemanasan dalam cekungan. Pemanasan dalam waktu yang lama, pada
temperatur yang sama akan menghasilkan batubara yang lebih tinggi peringkatnya.
Jadi harus ada keseimbangan yang baik antara panas, tekanan dan waktu geologi.
II.1.4 Tipe Batubara
Berdasarkan Lingkungan Pengendapan
Lingkungan pengendapan batubara akan mempengaruhi tipe
batubara yang dihasilkan. Berdasarkan lingkungan pengendapan, maka dapat
dikelompokkan menjadi tiga jenis tipe batubara, yaitu tipe batubara humik (humic
coal), sapropelik (sapropelic coal) dan humospropelik (humosapropec
coal).
1.
Tipe Batubara Humik (Humic Coal)
Batubara humik biasanya diendapkan di lingkungan darat
(limnic), dengan proses pengendapan secara insitu, yang mana
material organik pembentuk batubara berasal dari tempat dimana tumbuh-tumbuhan
asal itu berada (autochthonous). Batubara tipe ini memiliki kualitas
batubara yang baik dengan peringkat batubara bituminus hingga antrasit.
Komposisi maseral 90% lebih terdiri dari vitrinit (vitrite), memiliki
kandungan hidrogen dan zat terbang yang sangat rendah.
2.
Tipe Batubara Sapropelik (Sapropelic
Coal)
Batubara sapropelik biasanya diendapkan di lingkungan
laut (paralic) seperti pada daerah delta, laguna, lestuarin, marsh,
rawa-rawa air payau. Proses pengendapannya secara drift, yang mana
material organik pembentuk batubara berasal dari tempat lain (allochthonous).
Batubara tipe ini memiliki kualitas batubara kurang baik dibandingkan batubara
humik, sedangkan peringkat batubaranya adalah sub bituminus hingga lignit
dengan kandungan hidrogen dan zat terbang yang tinggi sedangakan kandungan
karbon rendah. Batubara sapropelik dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu
batubara cannel dan boghead.
Batubara jenis cannel dan boghead dapat
dibedakan dari komposisi maseralnya, terutama kelompok liptinit. Batubara cannel
memiliki maseral sporinite lebih banyak dibandingkan maseral alginite
(sporinite > alginite). Sedangkan batubara boghead lebih
dibanyak disusun oleh maseral alginite dibandingkan sporinite (sporinite
< alginite).
3.
Tipe Batubara Humosapropelik (Humosapropec
Coal)
Batubara humosapropelik merupakan batubara yang
dihasilkan dari rangkaian humik dan spropelik, tetapi rangkaian humik lebih
dominan. Asal material organik pembentuk batubara berasal dari tempat dimana
material organik diendapkan dan dari tempat lain.
II.2 Endapan
Batubara Indonesia
Endapan batubara Indonesia pada umumnya berkaitan erat
dengan pembentukan cekungan sedimentasi Tersier (Paleogen-Neogen), yang
diakibatkan proses tumbukan lempeng Eurasia, Hindia-Australia dan Pasifik pada
zaman kapur. Berdasarkan perkembangan tektonik Tersier oleh Sudarmono (1997)
(dalam Koesoemadinata, 2000) endapan batubara Indonesia diklasifikasikan
menjadi:
1.
Endapan batubara
Paleogen (Eosen – Oligosen), dan
2.
Endapan batubara Neogen (Oligosen Akhir –
Miosen).
Sedangkan dalam tatanan tektono-stratigrafi
pengendapan batubara oleh Koesoemadinata (2000) diklasifikasikan menjadi tiga kategori.
1.
Endapan Batubara Paleogene Syn-Rift
Batubara syn-rift berasosiasi dengan sedimen
fluvial dan lakustrin, biasanya batubara yang diendapkan pada tipe ini
menghasilkan batubara dengan nilai kalori yang tinggi (~7000 Kcal/kg), rendah
kandungan air lembab dan sulfur. Sebagai contoh untuk tipe ini adalah Formasi
Sawahlunto di Cekungan Ombilin, Sumetera Tengah.
2.
Endapan Batubara Paleogene Post–Rift
Transgression
Batubara post–rift transgression diendapkan
pada lingkungan paparan yang stabil selama kala Eosen Akhir hingga Awal Miosen.
Sebagai contoh tipe ini adalah batubara dari Cekungan Sumatera Tengah (Awal
Miosen), dan lebih tepat diwakili dengan batubara Senakin di Formasi Tanjung
bagian bawah dalam Cekungan Barito dan Pasir-Asem-asem. Batubara pada lingkungan
ini diendapkan secara lateral dan menerus, dengan nilai kalori dan kandungan
sulfur tinggi.
3.
Endapan Batubara Neogene Syn-Orogenic
Regressive
Batubara syn-orogenic regressive terjadi pada
Miosen Tengah hingga Plio-Pleistosen dan merupakan hasil dari pengangkatan
cekungan. Endapan batubara biasanya terdapat cekungan belakang busur (back-arc
basin) dan cekungan depan busur (fore-arc basin) pada busur kepulauan.
Endapan batubara pada syn-orogenic regressive biasanya tidak terlalu
tebal, tetapi akan terdiri dari beberapa lapisan. Nilai kalori rata-rata adalah
rendah (~5000 kcal/kg), kandungan air lembab tinggi dan kandungan sulfur juga
rendah
Dalam kerangka tatanan tektono-stratigrafi pengendapan
batubara ini dapat memberikan pendekatan mengenai gambaran umum kualitas,
kuantitas maupun karakteristik lapisan batubara dalam suatu cekungan. Selain
itu juga dapat memberikan pendekatan tentang kondisi geologi lokal yang
mengontrol kualitas, kuantitas maupun karakteristik lapisan batubara tersebut.
Dari hal tersebut juga dapat diperoleh pengertian bahwa kualitas, kuantitas
maupun karakteristik lapisan batubara pada tiap-tiap cekungan sedimentasi
batubara akan berbeda-beda karena kontrol geologi dari tiap-tiap cekungan juga
berbeda-beda pula.
II.3 Endapan
Batubara Telitian
Penelitian ini mengambil beberapa contoh endapan
batubara (raw coal) dari cekungan-cekungan Sumatera Selatan, Tarakan
(Sub-Cekungan Tarakan dan Berau), Kutai dan Barito (Sub-Cekungan Pasir), pada
lapisan batubara berumur Miosen yang merupakan endapan batubara Neogen.
II.3.1 Endapan Batubara
Cekungan Sumatera Selatan
Menurut De Coster, 1974 (dikutip dari Bachtiar. T.,
2001) Cekungan Sumatera Selatan telah mengalami tiga kali orogenesa, yaitu pada
Mesozoikum Tengah, Kapur Akhir – Tersier Awal dan Plio-Pliestosen. Setelah
orogenesa terakhir (Plio-Pliestosen) telah menghasilkan kondisi dan struktur
geologi seperti yang terlihat saat ini. Endapan batubara yang ada sekarang juga
merupakan hasil dari kendali geologi saat itu, diendapakan di cekungan belakang
busur saat pada Tersier Akhir.
Startigrafi regional Cekungan Sumatera Selatan menurut
beberapa peneliti terdahulu dibagi menjadi beberapa formasi dan satuan batuan
dari tua sampai muda adalah sebagai berikut :
·
Batuan Dasar Pra –
Tersier, terdiri dari andesit, breksi andesit, filit, kuarsit, batu gamping,
granit dan granodiorit.
·
Formasi Lahat; terdiri
dari tufa, aglomerat, breksi tufaan, andesit, serpih, batu lanau dan batubara.
Formasi ini diendapkan secara tidak selaras di atas batuan dasar
Pra-Tersier pada kala Paleosen – Oligosen Awal di lingkungan darat.
·
Formasi Talang Akar ;
terdiri dari batupasir berukuran butir kasar – sangat kasar, batu lanau
dan batubara. Formasi ini diendapkan tidak selaras diatas Formasi Lahat pada
kala Oligosen Akhir – Miosen Awal di lingkungan fluviatil sampai laut
dangkal.
·
Formasi Baturaja;
terdiri dari batugamping terumbu, serpih gampingan dan napal. Formasi ini
terletak diatas Formasi Talang Akar, diendapkan pada kala Miosen Awal
dilingkungan litoral sampai neritik.
·
Formasi Gumai; terdiri
dari serpih gampingan dan serpih lempungan, diendapkan dilingkungan laut
dalam pada kala Miosen Awal – Miosen Tengah.
·
Formasi Air Benakat;
dicirikan oleh batupasir yang terbentuk selaras di atas Formasi Gumai,
diendapkan di lingkungan neritik sampai laut dangkal pada kala Miosen Tengah –
Miosen Akhir.
·
Formasi Muara Enim;
terdiri dari batupasir, batulanau, batulempung dan batubara. Formasi ini
berumur kala Mio-Pliosen, diendapkan selaras diatas Formasi Air Benakat di lingkungan
delta.
·
Formasi Kasai; terdiri
dari batupasir tufaan dan tufa, terletak selaras diatas Formasi Muara Enim,
diendapkan di lingkungan darat pada kala Pliosen Akhir – Pleistosen Awal.
·
Endapan Kuarter; terdiri
dari hasil rombakan batuan yang lebih tua, berupa material berukuran kerakal
hingga lempung, menumpang tidak selaras di atas Formasi Kasai.
Secara khusus mengenai pengendapan batubara di
Cekungan Sumatera Selatan oleh Koesoemadinata, 2000 menyebutkan bahwa
pengendapan di Formasi Talang Akar bagian atas (Oligosen Akhir – Miosen Awal)
berhubungan pengendapan batubara paleogene post–rift transgression yang
menghasilkan batubara dengan nilai kalori tinggi (>6000 kal/gr), kadar abu
rendah (<15%), dan kandungan sulfur tinggi (>1%).
Sedangkan pada pengendapan di Formasi Muara Enim
(Miosen – Pliosen) dan neogene syn-orogenic regressive yang
menghasilkan lapisan batubara dengan ketebalan ±20 meter Batubara Suban (dalam
Koesoemadinata, 2000). Lebih dari 20 lapisan batubara hadir di sekitar lapangan
Tanjung Enim (PTBA) yang mana batubara tersebut ditambang. Batubara yang
dihasilkan memiliki rata-rata nilai kalori 5504 – 5347 kkal/kg (as received),
air lembab keseluruhan 23,6% (as received), kandungan sulfur 0,5%, kadar
abu 4%, zat terbang 32,1% dan karbon padat 40,3%.Pada beberapa batubara di
Tanjung Enim terdapat batubara peringkat antrasit dengan nilai kalori 8000
kkal/kg, hal ini diakibatkan oleh intrusi andesit di daerah tersebut.
Secara umum dapat disimpulkan bahwa endapan batubara
Miosen di Cekungan Sumatera Selatan memiliki penyebaran lapisan batubara yang
luas, namun memiliki peringkat batubara yang tidak terlalu tinggi, kecuali
disekitar intrusi andesit. Contoh endapan batubara yang dipakai dalam
penelitian termasuk pada Formasi Muara Enim, yang selanjutnya disebut Batubara
Banko.
II.3.2 Endapan Batubara
Cekungan Kalimantan Bagian Timur
Endapan batubara Indonesia yang cukup potensial juga
tersebar luas di cekungan-cekungan belakang busur yang terdapat di sepanjang
pantai Timur Kalimantan dan tergolong dalam cekungan-cekungan yang berumur
Tersier. Endapan-endapan batubara di cekungan Kalimantan bagian timur umumnya
berumur Paleogen (Eosen) dan Neogen (Mio-Pliosen hingga Plio-Pleistoen) dan
proses pengendapannya berhubungan dengan regresi air laut. Peringkat batubara
umumnya berupa lignite hingga high volatile bituminous dengan
nilai kalori rendah, kandungan air lembab tinggi, kadar abu dan sulfur relatif
rendah.
Secara regional, endapan
batubara tersebut berhubungan dengan empat aktifitas tektonik utama selama
zaman Tersier yang mempengaruhi pembentukan cekungan-cekungan tersebut, yaitu :
1. Aktifitas tektonik awal
Tersier, mengakibatkan pengangkatan tinggian mangkaliat dan Suikerbrood
ridge yang membagi Cekungan Kaliamantan bagian timur menjadi Cekungan
Tarakan dan Cekungan Kutai;
2. Aktifitas tektonik pada
kala Oligosen Bawah, merupakan gerak tektonik fleksur sepanjang Paternoster
Cross High atau Barito Kutai Cross High yang memisahkan Cekungan
Kutai dengan Cekungan Barito;
3. Aktifitas tektonik pada
kala Miosen Tengah, mengakibatkan pengangkatan Pegunungan Meratus yang berarah
Timurlaut – Baratdaya, pungungan ini memisahkan Cekungan Barito dan Sub-Cekungan
Pasir dan Asem-asem.
4. Aktifitas tektonik kala
Plio-Pleistosen, mengakibatkan seluruh cekungan di Kalimantan terangkat,
membentuk konfigurasi seperti sekarang ini.
Secara umum dikenal adanya tiga cekungan sedimentasi
utama dari utara hingga selatan, yaitu :
1.
Cekungan Tarakan, yang
terdiri dari Sub-Cekungan Tidung, Tarakan, Berau dan Muara;
2.
Cekungan Kutai, dan
3.
Cekungan Barito,
termasuk juga Sub-Cekungan Pasir dan Asem-asem.
II.3.2.1 Endapan Batubara Cekungan Tarakan
Cekungan Tarakan terdiri dari Sub-Cekungan Tidung,
Tarakan, Berau dan Muara. Contoh endapan batubara yang diambil termasuk pada
Sub-Cekungan Tarakan dan Berau. Sub-Cekungan Tarakan berada dan berkembang di
lepas pantai timur bagian utara yang meliputi Pulau Tarakan dan Bunyu. Endapan
batubara di sub-cekungan ini terjadi selama kala Plio-Pleistosen, di sungai
Sesayap purba menghasilkan sedimen fluvio-marin yang sangat tebal terutama
terdiri dari perlapisan betupasir delta, serpih dan batubara, yang kemudian
dikenal dengan Formasi Sajau atau Formasi Tarakan-Bunyu. Sedangkan Sub-Cekungan
Berau berada di sebelah selatan Sub Cekungan Tarakan, yang sebagian besar
terletak di daratan.
Menurut beberapa peneliti terdahulu urut-urutan
lithostratigrafi regional di Cekungan Tarakan dibagi menjadi beberapa formasi
dan satuan batuan dari tua sampai muda adalah sebagai berikut :
·
Formasi Sebakung;
terdiri dari batuan meta sedimen yang terlipat kuat, diendapkan di lingkungan
fluviatil hingga delta pada kala Eosen.
·
Formasi Sailor; terdiri
dari batugamping berfosil gangang dan koral, terletak tidak selaras di atas
Formasi Sembakung dan diendapkan di lingkungan neritik hingga laut terbuka pada
Oligosen Awal.
·
Formasi Tempilan;
terdiri dari perselingan batupasir, napal dan serpih, terletak selaras di atas
Foramasi Sailor dan diendapkan di lingkungan laut dangkal pada Oligosen Awal.
·
Formasi Mesaloi; terdiri
dari batulampung lanauan yang berselingan dengan batupasir, batulanau dan
napal, terletak selaras diatas Formasi Tempilan dan diendapkan di lingkungan
neritik hingga laut terbuka pada Oligosen Akhir.
·
Formasi Naintupo;
terdiri dari batupasir, batulempung, napal dan batugamping, terletak selaras
diatas Formasi Mesaloi dan diendapkan di lingkungan neritik pada Miosen Awal.
·
Formasi Meliat; terdiri
dari batupasir lanauan, batupasir konglomeratan, batulempung dan batubara,
terletak selaras di atas Formasi Naintupo dan diendapkan di lingkungan paralik
pada Miosen Tengah.
·
Formasi Tabul; terdiri
dari batulempung, batupasir lanauan, batupasir dan batubara, terletak selaras
diatas Formasi Meliat dan diendapkan di lingkungan prodelta pada kala Miosen.
·
Formasi Tarakan; terdiri
dari perselingan batubara, batulempung dan batulanau, terletak selaras di atas
Formasi Tabul dan diendapkan di lingkungan lagunal pada kala Pliosen.
·
Formasi Bunyu; terdiri
dari batubara yang berselingan dengan batupasir dan batulempung karbonan,
terletak tidak selaras di atas Formasi Tarakan dan diendapkan di lingkungan
delta pada Pleistosen hingga Holosen.
Untuk mewakili contoh batubara di cekungan ini,
dipakai contoh batubara Formasi Bunyu pada Sub-Cekungan Tarakan, selanjutnya
disebut Batubara Bunyu; sedangkan pada Sub-Cekungan Berau diwakili dengan
contoh batubara Formasi Tabul, selanjutnya disebut Batubara Berau.
II.3.2.2 Endapan Batubara Cekungan Kutai
Endapan batubara dan sedimen Tersier lainnya yang
terdapat di Cekungan Kutai, proses pengendapannya diperkirakan berhubungan
dengan gerak pemisahan Pulau Kalimantan dan Sulawesi yang kemungkinan terjadi
pada akhir Kapur hingga awal Paleogen. Sehingga secara keseluruhan
batuan-batuan sedimen yang diendapkan pada cekungan tersebut mencerminkan
adanya pengaruh siklus transgresi dan regresi air laut.
Urutan transgresi yang ada di Cekungan Kutai
menghasilkan sedimen-sedimen klastik kasar dan serpih yang diendapkan pada
lingkungan paralik hingga laut dangkal. Pengendapan ini berlangsung hingga kala
Oligosen yang memperlihatkan periode genag laut maksimum dan pada umumnya
terdiri dari endapan serpih laut dalam dan batugamping serara lokal.
Sedangkan pada urutan regresi menghasilkan
lapisan-lapisan sedimen klastik dan lapisan-lapisan batubara yang diendapkan
pada lingkungan delta hingga paralik. Sistem Delta yang berumur Miosen Tengah
berkembang baik ke arah timur dan tenggara daerah cekungan.
Berdasarkan urut-urutan litostratigrafi Cekungan Kutai dari tua ke
muda dibagi menjadi beberapa Formasi batuan yaitu sebagai berikut :
·
Formasi Pamaluan;
berumur Miosen Bawah, terletak selaras di atas Formasi Gunung Sekerat, terutama
terdiri dari batulempung dengan sisipan-sisipan tipis batupasir, batubara, dan
batugamping, diendapkan pada lingkungan delta marine.
·
Formasi Bebuluh; berumur
Miosen Awal bagian atas, terletak beda fasies dengan Formasi Pamaluan, terutama
terdiri atas batugamping, sisipan batugamping pasiran dan serpih, diendapkan
pada lingkungan marine.
·
Formasi Pulau Balang;
berumur Miosen Tengah, terletak selaras di atas Formasi Pemaluan terutama
terdiri dari batulempung, batupasir lempungan dan batupasir, yang merupakan
endapan deltafront.
·
Formasi Balikpapan.;
berumur Miosen Tengah, terletak selaras di atas Formasi Pulau Balang, terdiri
dari batupasir, batupasir lempungan, batulempung dan batubara. Lapisan
batupasir dan batupasir lempungan terutama dijumpai pada bagian bawah.
Lingkungan pengendapannya adalah delta (delta front sampai delta
plain).
·
Formasi Kampungbaru;
berumur Miosen Atas sampai Pliosen. diendapkan selaras di atas Formasi
Balikpapan, bagian bawahnya terdiri dari batulempung, batupasir, batupasir
gampingan yang diendapkan pada lingkungan litoral, sedangkan pada bagian
atasnya terdiri dari batulempung, batubara dan konkresi-konkresi lempung bagian
(clay stone), diendapkan pada lingkungan transisi paralik.
·
Endapan Kuarter;
tersusun oleh lempung, pasir, kerikil dan sisa tumbuh-tumbuhan, bersifat lepas.
Endapan ini disebabkan oleh adanya limpahan banjir Sungai Bontang, Sungai
Guntur, Sungai Nyerakat dan Sungai Santan yang membentuk rawa-rawa.
Untuk mewakili cekungan ini dipakai contoh endapan
batubara dari Formasi Kampungbaru, selanjutnya disebut Batubara Kutai.
II.3.2.3 Endapan Batubara Cekungan Barito
(Sub-Cekungan Pasir)
Sub-Cekungan Pasir berada di bagian timur Cekungan
Barito yang dibatasai Pegunungan Meratus. Sub Cekungan Pasir memiliki tatanan
stratigrafi yang rumit sehingga oleh beberapa peneliti Sub-Cekungan Pasir
dimasukkan ke dalam bagian Cekungan Barito, selain itu juga karena litologi
yang terdapat dalam cekungan ini memiliki posisi menjari dan kesamaan dengan
Cekungan Barito.
Adapun urutan litostratigrafi Cekungan Barito
(Sub-Cekunan Pasir) dari tua hingga muda sebagai berikut :
·
Formasi Tanjung;
diendapkan pada kala Eosen, terletak tidak selaras di atas batuan dasar yang
yang merupakan batuan beku dan metamorf berumur Pra-Tersier. Pada bagian bawah
formasi ini terdiri dari konglomerat, batupasir, batulempung dan sisipan
batubara, sedangkan bagian bawah terdiri dari batulempung dan napal dengan
sisipan batupasir dan batugamping.
·
Formasi Berai;
diendapkan selaras diatas Formasi Tanjung pada kala Oligosen hingga Miosen
Bawah, terdiri dari Anggota Berai Bawah yang disusun oleh napal, batulanau,
batugamping dan sisipan batubara; Anggota Berai Tengah dicirikan oleh
batugamping masif dengan interklas napal; dan Anggota Berai Atas tersusun oleh
serpih dengan sisipan batugamping berselingan dengan napal, batulempung napalan
dan sedikit batubara.
·
Formasi Warukin;
diendapkan selaras diatas Formasi Berai pada kala Miosen Tengah hingga Miosen
Atas, terdiri dari Anggota Warukin Bawah yang disusun oleh napal, batulempung
dan sisipan batupasir; Anggota Warukin Tengah relatif sama dengan Warukin Bawah,
hanya pada batupasirnya menjadi tebal dan banyak dijumpai lapisan tipis
batubara; dan Anggota Warukin Atas dicirikan lapisan batubara yang tebal hingga
20 meter dan juga batupasir dan batulempung karbonan. Formasi ini dfiendapakan
pada lingkungan paralik hingga delta pada fase regresi.
·
Formasi Dahor;
diendapkan tidak selaras diatas Formasi Warukin pada Mio-Pliosen, terdiri dari
batupasir, batulempung, batubara dan lensa-lensa konglomerat. Formasi ini
diendapkan di lingkungan paralik-lagunal.
·
Endapan Kuarter; terdiri
dari hasil rombakan batuan yang lebih tua, berupa material berukuran kerakal
hingga lempung, menumpang tidak selaras di atas Formasi Dahor.
Secara keseluruhan, sistem sedimentasi yang
berlangsung di cekungan ini melalui siklus transgresi dan regresi serta
beberapa sub siklus yang bersifat lokal. Turunnya bagian tengah cekungan dan
erosi yang aktif di bagian Tinggian Meratus menyebabkan pengendapan sedimen
yang banyak, membentuk urutan endapan paralik hingga delta. Hal tersebut juga
tercermin endapan batubara yang relatif tebal pada Formasi Warukin.
Kualitas endapan batubara di cekungan ini termasuk
pada batubara peringkat rendah (lignit) dengan nilai kalori rendah (<5000
kcal/kg), kandungan sulfur hingga 0,2%, karbon padat 31,4%, zat terbang 37,6%,
kadar abu 3,3%, kandungan air lembab bawaan 27,7% dan air lembab keseluruhan
mencapai 34,5% (dalam Koesoemadinata, 2000). Untuk mewakili cekungan ini
dipakai contoh batubara dari Formasi Warukin dan selanjutnya disebut Batubara
Pasir.
II.4
Teknologi Upgraded Brown Coal (UBC)
II.4.1 Permasalahan Batubara
Peringkat Rendah di Indonasia
Bumi Indonesia memiliki jumlah cadangan batubara yang
cukup banyak. Menurut data dari Direktorat Inventaris Sumber Daya Mineral pada
tahun 2003, batubara tersebut sebagian besar tersebar luas di daerah Sumatera
dan Kalimantan. Data tersebut juga menunjukkan bahwa sebagian besar merupakan
batubara peringkat rendah.
Dengan kenyataan tersebut, maka sampai saat ini
batubara di Indonesia belum banyak dimanfaatkan dan masih merupakan lahan
tidur. Jumlah kandungan air yang sangat tinggi dalam batubara mengakibatkan
biaya angkutan perkalorinya tinggi, efisiensi pembakaran rendah, titik bakar
abu yang cenderung membentuk slagging dan memiliki sifat swabakar yang
tinggi. Dampaknya, jumlah batubara yang dibutuhkan akan lebih banyak dan
memerlukan ukuran boiler yang lebih besar untuk menghasilkan panas yang
sama dengan batubara bituminus, menghasilkan emisi gas yang lebih besar untuk
proses yang sama dan membutuhkan stockpile yang besar bila dipergunakan
untuk kebutuhan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU).
Dengan demikian teknologi peningkatan kualitas yang
dilakukan berupa teknologi UBC, yaitu suatu teknologi untuk meningkatkan
nilai kalori batubara peringkat rendah melalui penurunan kadar air bawaan (inherent
moisture) dalam batubara. Dalam hal ini dipakai istilah raw coal
untuk batubara mentah peringkat rendah yang belum ditingkatkan kualitasnya dan
produk UBC untuk batubara yang sudah ditingkatkan kualitasnya.
II.4.2 Prinsip UBC
Pada prinsipnya proses UBC dirancang untuk
menghasilkan produk batubara dengan nilai kalor 6000 – 6500 kkal/kg dari
batubara peringkat rendah yang mempunyai nilai kalor 3500 – 4500 kkal/kg,
melalui teknik pengurangan kandungan air total dari 25 – 45% menjadi <5% .
II.4.3 Proses UBC
Proses UBC dilakukan dengan cara mencampurkan antara
batubara asal dan minyak residu kemudian dipanaskan pada suhu 150°C dengan
tekanan hanya 350 kPa (35 atm) seperti pada Gambar 2.6. Penambahan minyak
residu adalah untuk menjaga kestabilan kadar air. Keunggulan proses ini selain
suhu dan tekanan yang cukup rendah, juga batubara yang dihasilkan cukup bersih
karena minyak residu yang ditambahkan pada saat proses dipisahkan dan dapat
digunakan kembali. Batubara produk proses UBC dapat berupa serbuk
ataupun bongkah (aglomerat) yang kemudian dibuat briket atau dalam bentuk slurry.
Polusi pada air buangan akan sangat minimum karena proses yang berlangsung
adalah secara fisika, sehingga tidak terjadi reaksi kimia atau pirolisa.
II.4.4 Pilot Plant UBC
Palimanan
Pilot plant UBC dengan kapasitas 5 ton
perhari ini sedang dibangun di Palimanan – Cirebon, Jawa Barat. Di tempat ini
pula direncanakan akan dibangun Pusat Teknologi Pemanfaatan Batubara Bersih (Coal
Center) yang akan mencakup semua kegiatan penelitian teknologi pemanfaatan
batubara seperti pencairan, gasifikasi, karbonisasi, coal water mixture
dan lain-lain. Pilot plant UBC di Palimanan ini merupakan pilot plant
pertama di dunia, sehingga keberadaannya menjadi sangat penting dan strategis.
Pilot plant ini terdiri dari 5 (lima)
unit utama, yaitu penyiapan batubara (coal preparation), penghilangan
air (slurry dewatering), pemisahan batubara- minyak (coal – oil
separation), penangkapan ulang minyak (oil recovery) dan pembuatan
briket (briquetting) .
II.4.5 Hasil UBC
Dengan berhasilnya penelitian pilot plant ini,
diharapkan batubara peringkat rendah yang merupakan cadangan terbesar dimiliki
Indonesia (± 70% dari total cadangan 39 milyar ton) dapat ditingkatkan
kualitasnya sehingga mempunyai sifat menyerupai batubara peringkat tinggi (bituminous),
yaitu jenis batubara yang ideal untuk diekspor. Dengan kata lain proses UBC
dapat menyiapkan batubara yang sesuai dengan spesifikasi pasar, sehingga
industri pertambangan batubara di Indonesia dapat terus tumbuh memberikan
kontribusinya sebagai pemasok energi dalam negeri dan untuk meningkatkan ekspor
di masa mendatang.
II.5. Petrografi
Batubara
Petrografi batubara adalah ilmu yang mempelajari
komponen-komponen organik (maceral) dan anorganik (mineral matter)
secara mikroskopik. Seperti pada petrografi mineral, petrografi batubara
memerikan komponen-komponen penyusun batubara secara kualitatif dan kuantitatif
untuk mengetahui asal mula dan genesa pembentukkan batubara.
II.5.1 Gambaran Sejarah
Lahirnya ilmu petrografi batubara sering dihubungkan
dengan dua nama tokoh penting yaitu M. Stope (1919) dan Thiessen (1920)
(dikutip dari Nining, N.S., 2001). Keduanya adalah ahli paleobotani. Selain
mereka juga ada dua ahli dari Jerman yaitu H. Potonie (1920) dan yang banyak
memberikan pemikiran penting dalam ilmu ini.
Stope dan Thiessen mengembangkan ide-ide dalam hal
terminalogi dan klasifikasi batubara dengan menggunakan mikroskop cahaya
tembus, tetapi kemudian Stope lebih lanjut memperdalam pengamatannya
menggunakan cahaya pantul. Pemikiran Thiessen menganai klasifikasi batubara
berdasarkan sistem U.S. Bureau of Mines. Salah satu hasil penelitian mereka
yang sangat penting adalah informasi mengenai tanaman asal pembentuk batubara.
Awal tahun 1930, Thiessen, Stopes dan beberapa
peneliti dari Perancis dan Jerman, yang tergabung dalam ahli-ahli mineral dan
tanaman, menyelidiki komponen-komponen batubara dengan metoda petrografi. Untuk
memadukan pemikiran-pemikiran yang berbeda latar belakang keahlian maka
diadakan konferensi di Heerlen – Netherland pada tahun 1935. Salah satu
keputusan penting konferensi tersebut adalah terbentuknya susatu sistem
penamaan sistem Stope-Heerlen.
Pada tahun 1932 diperkenalkan teknik baru mengenai
pengukuran reflektan yang digunakan sebagai petunjuk peringkat batubara. Tokoh
yang pertama kali memperkenalkan metoda ini adalah Hoofmann dan Jenker dari
Jerman.
Di tahun 1930-an, para peneliti memulai penelitian
mengenai hubungan antara komposisi petrografi dengan karakteristik batubara
dalam suatu proses pengolahan. Salah satu hasil penelitian menyatakan bahwa
dalam batuabara yang kaya vitrinit dan eksinit mempunyai perbedaan
karakteristik dalam proses pencairan, gasifikasi dan ekstrasi, dibandingkan
dengan batubara yang kaya inertinit.
Selanjutnya, pada tahun 1950 dibentuk komite yang bertujuan
menstandarkan metoda dan terminalogi petrologi batubara (coal petrology)
yaitu International Commite for Coal Petrology (ICCP). Kemudian di tahun
1965, petrologi batubara mulai digunakan untuk memprediksi kualitas kokas. Pada
periode tahun 1960 hingga 1969 ditemukan komponen-komponen yang reaktif dan
inert dalam batubara, penemuan ini diperoleh dari pengamatan terhadap
sifat-sifat batubara selama proses karbonisasi. Sejak penemuan tersebut, jumlah
peneliti yang turut berpartisipasi dalam petrologi batubara semakin meningkat,
sehingga cakupan penelitian juga semakin melebar, diantaranya mempelajari
sifat-sifat kimia dan fisika maseral, hubungan langsung dengan teknologi
pemanfaatan batuabara.
Dua teknik terbaru yang dipakai dalam petrografi
batubara ditemukan pada tahun 1970-an, yaitu teknik penggunaan mikroskop
otomatis dan pemakaian sinar fluorence untuk mengidentifikasi meseral tertentu,
terutama kelompok maseral liptinit/eksinit.
II.5.2 Konsep Maseral
Secara mikroskopis bahan-bahan organik pembentuk
batubara disebut maseral (maceral), analog dengan mineral dalam batuan.
Istilah ini pada awalnya diperkenalkan oleh M. Stopes (1935) (dalam buku
Stach dkk, 1982) untuk menunjukkan material terkecil penyusun batubara
yang hanya dapat diamati dibawah mikroskop sinar pantul.
Dalam petrografi batubara, maseral dikelompokan
menjadi 3 (tiga) kelompok (group) yang didasarkan pada bentuk morfologi,
ukuran, relief, struktur dalam, komposisi kimia warna pantul, intensitas
refleksi dan tingkat pembatubaraannya (dalam “Coal Petrology” oleh Stach
dkk, 1982), yaitu :
1.
1. Kelompok
Vitrinit
Vitrinit berasal dari tumbuh-tumbuhan yang mengandung
serat kayu (woody tissue) seperti batang, akar, dahan dan serat daun,
umumnya merupakan bahan pembentuk utama batubara (>50%), melalui pengamatan
mikroskop refleksi, kelompok ini berwarna coklat kemerahan hingga gelap,
tergantung dari tingkat ubahan maseralnya .
1.
2. Kelompok
Liptinit / Exinit
Liptinit berasal dari organ-organ tumbuhan (algae,
spora, kotak spora, kulit luar (cuticula), getah tumbuhan (resine)
dan serbuk sari (pollen). Dibawah mikroskop menunjukkan pantulan
berwarna abu-abu hingga gelap, mempunyai refleksivitas rendah dan flourensis
tinggi (Gambar 2.10). Berdasarkan morfologi dan sumber asalnya dibedakan menjadi
beberapa sub-maseral .
1.
3. Kelompok
Inertinit
Inertinite berasal dari tumbuhan yang sudah terbakar (charcoal)
dan sebagian lagi diperkirakan berasal dari maseral lain yang telah mengalami
proses oksidasi atau proses dekarbok silasi yang disebabkan oleh jamur atau
bakteri (proses biokimia). Kelompok ini berwarna kuning muda, putih sampai
kekuningan bila diamati dengan mikroskop sinar pantul, karakteristik lainnya
adalah reflektansi dan reliefnya tinggi dibanding maseral yang lain (Gambar
2.11). Berdasarkan struktur dalam, tingkat dan intensitas pembakaran, kelompok
ini dibagi menjadi beberapa sub-maseral .
II.5.3 Klasifikasi
Banyak klasifikasi kelompok maseral, sub-maseral dan
jenis maseral dalam petrografi batubara, tetapi yang sering dipakai oleh
peneliti di Indonesia adalah Australian Standart (AS 2856-1986) (Tabel
2.1). Kelebihan sistem ini yaitu pembagiannya berlaku untuk semua peringkat
batubara, baik untuk hard coal maupun brown coal, selain itu juga
cukup sederhana dibandingkan sistem yang lain : International Organisation
for Standardisation (ISO); American Society for Testing Materials (ASTM); dan
British Standards Institution (BSI) classifications.
Table 2.1 Klasifikasi
maseral ke dalam subkelompok dan kelompok, berdasarkan pada Australian
Standard System (AS2856-1986) [* pada brown coal macerals]
II.5.4
Sifat Fisik dan Kimia Kelompok Maseral
1.
1. Sifat
Fisik
Sifat fisik utama kelompok maseral adalah berat
jenis. Kelompok vitrinit mempunyai berat jenis yang bervariasi
tergantung peringkat batubara. Dalam batubara bituminus yang
mempunyai zat terbang sedang, vitrinit memiliki berat jenis 1,27
g/ml; sedangkan dalam batubara bituminus yang mempunyai berzat
terbang tinggi memiliki berat jenis 1,3 g/ml; dan yang terbesar
adalah 1,8 g/ml untuk antrasit.
Liptinit mempunyai berat jenis mulai dari 1,18 g/ml
dalam batubara peringkat rendah hingga mencapai 1,25 g/ml dalam batubara
bituminus. Berat jenis inertinit kenaikannnya sedikit mulai
dari 1,35 sampai dengan 1,7 g/ml sesuai dengan kenaikan peringkat
batubara.
1.
2. Sifat
Kimia
Pada batubara yang berperingkat sama, vitrinit
mempunyai lebih sedikit kandungan oksigen dan lebih banyak kandungan karbon
bila dibandingkan dengan kelompok inertinit, sedangkan liptinit banyak
mengandung karbon dan hidrogen tetapi sedikit mengandung oksigen. Bila
jumlah kandungan hidrogen dan karbon dihubungan dengan zat terbang, liptinit
memproduksi zat terbang tertinggi, yang diikuti oleh vitrinit. Inertinit
relatif kecil memiliki kandungan zat terbang. Hal tersebut akan berubah
dengan kenaikan peringkat batubara.
Vitrinit dalam batubara peringkat rendah tersusun dari
bermacam-macam humus yang terdiri dari cincin aromatik dikelilingi oleh
gugusan alipatik. Makin naik peringkat batubara, kelompok peripheral luar
seperti OH, COOH, CH3 akan hilang dan cincin aromatik menjadi
lebih besar. Akibatnya kearomatikan dan kandungan karbon meningkat sedangkan
kandungnan oksigen menurun.
Perubahan kandungan karbon, zat terbang dan peringkat
batubara berhubungan dengan jumlah cahaya reflektansi vitrinit. Pengaruhnya,
semakin tinggi kadar karbon, semakin tinggi pula reflektansi
vitrinit. Oleh karena itu peringkat batubara dapat secara langsung
ditetapkan dengan pengukuran reflektan vitrinit. Dalam batubara
yang mempunyai kandung vitrinit >80%, peringkat batubara dapat ditetapkan
berdasarkan kandungan zat terbang dan zat karbon.
Liptinit dalam batubara peringkat rendah
mempunyai lebih sedikit senyawa aromatik dibandingkan dengan vitrinit.
Pada umumnya eksinit/liptinit mempunyai suatu kerangka
alifatik-aromatik dengan rantai luar alifatik dan mempunyai
kelompok periperal yang tinggi, serta menghasilkan lebih banyak zat
terbang apabila dipanaskan dibandingkan dengan kelompok lainnya.
Selain itu liptinit menghasilkan bitumen dan ter yang tinggi terutama
dalam batubara sub-bituminus dan bituminus.
Pada batubara peringkat rendah, inertinit
memiliki lebih banyak senyawa aromatik dibandingkan dengan vitrinit atau
liptinit. Kelompok ini sangat sedikit berubah sifat fisika dan kimianya karena
kenaikan peringkat. Pada umumnya inertinit mempunyai oksigen tinggi dan
hidrogen randah, tetapi kandungan oksigen akan turun cepat dengan naiknya
peringkat batubara.
II.5.5 Mineral Pengotor
Mineral pengotor dalam batubara terdapat baik
sebagai butiran halus yang menyebar maupun sebagai butiran kasar
yang mempunyai ciri-ciri sendiri dan dapat dikelompokkan
menjadi tiga kelompok, yaitu :
1.
Mineral pengotor
yang terdapat dalam sel tanaman asal,
2.
Mineral pengotor utama
yang terbentuk selama atau segera setelah pengendapan batubara dan,
3.
Mineral pengotor yang
terbentuk setelah pengendapan batubara,
Mineral pengotor kelompok pertama pada umumnya
tidak dapat diketahui secara petrografi kecuali dengan SEM (Scanning
Electron Microscope) karena sangat kecil. Mineral pengotor kelompok kedua
dan ketiga dengan mudah dapat diidentifikasi dengan mikroskop. Mineral utama
berbentuk bersamaan dengan pembentukna batubara, sedangkan mineral
pengotor lainnya cenderung kasar dan bergabung dalam lubang, celah dan rongga.
Mineral-mineral pengotor yang banyak terdapat
dalam batubara adalah lempung, karbonat, besi sulfida dan kuarsa. Mineral lain
yang terdapat pada batubara dalam jumlah kecil adalah oksida-oksida,
hidroksida-hidroksida, sulfida-sulfida yang lainnya, fosfat dan sulfat.
Mineral lempung adalah mineral yang paling
banyak terdapat dan tersebar luas di dalam batubara serta berukuran butir
sangat kecil antara 1-2 μm. Sekitar 60 – 80% dari
mineral pengotor dalam batubara adalah lempung berupa kaonit, illit dan smektit. Komposisi kimia pada
saat pengendapan berpengaruh terhadap tipe lempung yang mengendapan dalam
batubara. Pada umumnya mineral lempung illit terdapat dalam
batubara yang diendapkan dengan adanya pengaruh air laut,
sedangkan kaolinit tidak dipengaruhi oleh air laut. Dibawah sinar
refleksi, lempung mempunyai lempung bermacam-macam warna
mulai dari yang hampir putih sampai sampai orange kecoklat-coklatan. Dibawah
sinar fluorescent mineral lempung tidak berwarna sampai oranye.
Karbonat dalam batubara terdapat sebagai masa dasar
atau pengisi lubang-lubang kecil/celahan, diantaranya adalah siderit,
kalsit, ankerit dan dolomit. Dibawah sinar refleksi, karbonat
tersebut berwarna abu-abu kecoklatan dan sangat anisotop. Di bawah
sinar fluorescent karbonat menunjukkan warna hijau sampai oranye kehijauan.
Sulfida besi didominasi oleh pirit termasuk markasit
dan melnikovit. Mineral-mineral tersebut terjadi sebagi
butiran kristal yang halus dan butiran-butiran halus, dan
kadang-kadang mengisi lubang yang terbuka, terutama terdapat dalam
lapisan batubara yang dipengaruhi oleh air laut. Dalam sinar
refleksi, pirit terlihat sangat terang kekuning-kuningan.
Mineral kuarsa dalam batubara terdapat dalam
jumlah kecil, berukuran butir antara 5-20 μm. Dibawah sinar refleksi, kuarsa terlihat hitam terang.
Batubara yang mempunyai mineral dalam ukuran butir besar dapat dengan
mudah dipisahkan dengan penggerusan atau dengan proses pengolahan.
Mineral tersebut dinamakan “adventitious”. Sedangkan
mineral-mineral yang tidak terlepas dari batubara baik dengan penggerusan
maupun dengan proses pengolahan yang disebut “inherant”.
II.5.6.1 Peringkat Batubara (Coal
Rank)
Pada tahap pembentukan batubara dari gambut menjadi
batubara yang lebih tinggi derajatnya yaitu dari lignit sampai sub bituminus,
bituminus hingga antrasit, yang berlangsung adalah tekanan, temperatur dan
waktu tertentu (Cook, 1982). Tahap pembatubaraan merupakan perubahan dari
rombakan sisa-sisa tumbuhan pada kondisi reduksi, yang mana persentase karbon semakin
besar, sedangkan persentase oksigen dan hidrogen semakin berkurang. Cook (1982)
menjelaskan bahwa tahap pembatubaraan terdiri dari pematangan bahan organik
pada fase metamorfosa tingkat rendah. Material organik lebih peka terhadap
metamorfosa tingkat rendah daripada mineral anorganik.
Dalam menentuan peringkat batubara dapat dilakukan
dengan berbagai metoda dan parameter, antara lain : kadar air lembab (moisture),
zat terbang (volatile matter), karbon padat (fixed carbon), nilai
kalori (caloritific value), reflektansi vitrinit serta karbon dan
oksigen. Pada metoda petrogarfi batubara penentuan peringkat batubara mengacu
pada hasil pengukuran reflektansi vitrinit. Selain dalam prakteknya lebih cepat
dan mudah, metoda ini juga lebih tepat dalam menentukan peringkat batubara
dibandingkan dengan metoda yang lain. Hal ini dikarenakan reflektansi vitrinit
lebih berkaitan langsung dengan pengamatan kondisi maupun struktur maseral
batubara, yang mana struktur maseral batubara tersebut lebih mencerminkan seri
pembatubaraan yang dipengaruhi oleh tekanan dan temperatur.
II.5.6.2 Tipe Batubara (Coal Type)
Parks dan Donnel (dalam Cook, 1982) menjelaskan bahwa
batasan tipe batubara dipergunakan untuk mengklasifikasi berbagai jenis
tumbuhan pembentuk batubara, sedangkan menurut Shierly (dalam Cook, 1982) tipe
batubara merupakan dasar klasifikasi petrografi batubara yang terdiri dari
berbagai unsur tumbuhan penyusun batubara dengan kejadian yang berbeda-beda.
Petrografi batubara memberikan dasar pemahaman genesa,
sifat dan unsur organik batubara. Material organik berasal dari berbagai macam
tumbuhan dan sebagian bercampur dengan sedimen anorganik selama penggambutan,
sehingga tipe batubara ditentukan pada tahap biokimia untuk mengetahui
lingkungan pengendapan batubara, terutama berdasarkan material organiknya.
Penentuan jenis batubara secara makroskopis didasarkan pada litotipe, sedangkan
secara mikroskopis menggunakan konsep maseral dan mikrolitotipe (Tabel 2.2).
Tabel 2.2
Klasifikasi mikrolitotipe pada batubara (dari Stach dkk, 1982)
MIKROLITOTIPE
|
KOMPOSISI MASERAL
|
KELOMPOK
|
Vitrite
Liptite Inertite |
>95% Vitrinite
>95% Liptinite >95% Inertinite |
Monomaceralic
|
Clarite
Durite Vitrinertite |
>95% Vitrinite + Liptinite
>95% Inertinite + Liptinite >95% Vitrinite + Inertinite |
Bimaceralic
|
Duroclarite
Vitrinertoliptite Clarodurite |
(Vitrinite+Liptinite+Inertinite each
>5%)
Vitrinite > Liptinite, Inertinite Liptinite > Vitrinite, Inertinite Inertinite > Vitrinite, Liptinite |
Trimaceralic
|
II.5.7 Metoda Penentuan dan
Model Lingkungan Pengendapan
Penafsiran lingkungan pengendapan batubara dalam
petrografi batubara menggunakan model lingkungan pengendapan dari Diessel
(1986), Calder (1991) dan Mukhopadhyay (1989). Penafsiran lingkungan
pengendapan pada model-model tersebut didasarkan pada konsep maseral, yang mana
kehadiran beberapa maseral tertentu dalam batubara akan memberikan pendekatan
mengenai awal terbentuknya batubara.
1.
1. Model
lingkungan pengendapan menurut Diesel (1986)
Diesel (1986) telah menerapkan modelnya pada batubara
yang berumur Perm di lembah Hunter dan Gunnedah yang termasuk dalam cekungan
Sydney, Australia. Model ini juga telah banyak diaplikasikan dibeberapa
lapangan batubara di dunia. Penentuan lingkungan pengendapan pada model ini
digunakan perbandingan antara harga Gelification Index (GI)
dengan Tissue Preservation Index (TPI) yang kemudian diplotkan
dalam diagram.
1.
2. Model
lingkungan pengendapan menurut Calder,dkk (1991)
Calder, dkk (1991) mengusulkan perbandingan antara Vegetation
Index (VI) dan Ground Water Index (GWI) dipakai
sebagai parameter untuk menentukan lingkungan pengendapan. Model ini secara
lebih rinci mengklasifikasikan lingkungan pengendapan batubara ditinjau dari
asal material organik pembentuk batubara dan kedalaman muka air (hydrologic
regime).
1.
3. Model
lingkungan pengendapan modifikasi Mukhopadhyay (1989)
Mukhopadhyay (1989) mendasarkan asosiasi maseral untuk
menentukan fasies batubara di cekungan Mosehopotanus, Greece, Athena, Yunani
pada endapan batubara Tersier. Asosiasi maseral yang dipakai merupakan
meseral-maseral yang dapat memberikan gambaran mengenai komunitas tumbuhan,
tipe pengendapan, potensi reduksi-oksidasi, dan susunan batubara pada sistem lingkungan
pengendapan batubara. Hal ini juga sesuai dengan pernyataan Teichmuller, 1982
(dalam Stach dkk, 1982), yang menyatakan bahwa faktor yang menentukan fasies
batubara yaitu komunitas tumbuhan, tipe pengendapan, potensi reduksi-oksidasi,
dan susunan batubara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar