1. Penjelasan Umum
Batubara -> batuan yang mudah terbakar mengandung
lebih dari 50% berat dan 70% volume material karbonan, termasuk lengas bawaan(inherent
moisture). Secara umum, batubara dibedakan menjadi
dua :
1. Humic (tumbuhan darat).
2. Sapropelic (tumbuhan air
-> ganggang).
tumbuhan -> gambut : peatifikasi
gambut -> lignit -> subbituminous ->
bituminous -> antrasit : coalification
Menurut Frenzel(1983) dan Boron et al.(1987),
pembentukan gambut dapat diawali dengan:
1.
Terrestrialisation :replacement air oleh mire(Lumpur). Dapat terjadi di
kolam, danau, lagoon, interdistributary bay, dll.
2.
Paludification yang merupakan penggantian dataran kering oleh mire(Lumpur)
contoh ketika penaikan muka air tanah.
1.1. Gambaran
Fisik batubara
Unsur utama batubara :
·
Maceral : persamaan
dari mineral untuk organic.
·
Mineral matter : fraksi
anorganik yang tersusun atas variasi mineral primer dan sekunder.
Brown Coal : low coal rank seperti
lignite dan subbituminus
Black atau Hard Coal : bituminous, semi antrasit dan antrasit.
Batubara dapat dibagi menjadi 2 grup utama :
a. Humic Coals : terdiri dari berjenis jenis campuran debris
tumbuhan makro, biasanya batubaranya mempunyai kenampakan banded(berpita).
b. Sapropelic Coals : terdiri dari debris tumbuhan
microscopic yang terbatas, biasanya batubara tampak homogen.
1.2. Deskripsi
Makroskopik batubara
1.2.1. Humic coals
Stopes(1919) mengajukan 4 tipe litological (LITHOTYPES)
untuk mendescripsikan humic coals :
a. Vitrain : hitam, brittle,
glassy, vitreous material, terjadi sebagai band tipis
b. Clarain : bright dengan
kilap sutra pada laminasi halus
c. Durain : abu smapai hitam
dengan kilap tanah, pecah menjadi fragmen kasar dipermukaanya
d. Fusain : hitam lembut,
dapat diremas, mudah terpisah menjadi bubuk hitam berserat.
Namun sulit untuk menggunakan istilah ini untuk
mendeskripsikan batubara di core atau singkapan, karena keempat lithotype
tersebut biasanya terjadi sebagai lensa atau layer tipis, biasanya dalam
ketebalan millimeter.
1.2.2. Sapropecic Coals
Sapropelic coal biasanya berbutir halus, homogen,
berwarna gelap dan memperlihatkan jejak conchoidal fracture. Bisa berasosiasi
dengan humic ataupun berdiri sendiri. Tipe dari Sapropelic coal :
a.
Cannel Coal, terdiri dari utamanya miospore dan mud organic yang
terbentang dibawah air, seperti di danau dangkal.
b.
Boghead Coal, batubara alga, seluruhnya berasal
dari material alga. Boghead coal dapat bergradasi secara lateral atau vertical
menjadi oil shales.
Transisi antara keduanya : cannel-boghead coal atua
boghead-cannel. Biasanya sapropelic bisa dibedakan secara mikroskopik.
1.3. Deskripsi Mikroskopik
batubara
Deskripsi mikroskopik dari batubara dianalisa
berdasarkan MACERAL, yang dibagi menjadi 3 group (berdasarkan
Stopes-Heerlen) :
a. Huminite/vitrinite :
material kayu.
b. Exinite(liptinite) : spora,
resin, cuticles.
c. Inertinite : material
tumbuhan yang teroksidasi
Kandungan
Mineral dalam batubara
Mineral detrital adalah mineral2 yang
tertransportasi ke swamp atau tanah berlumpur oleh udara atau air. Variasi yang
besar dari mineral dapat ditemukan pada batubara, biasanya didominasi oleh
kuarsa, karbonat, iron dan mineral lempung.
Watter borne
mineral matter : tertransportasi kedalam coal swamps sepanjang channel yang memotong
akumulasi debris organic. Ketika channel dalam keadaan banjir, detritus menebar
pada top dari material organic dan peristiwa seperti ini biasanya menghasilkan
mineral-rich parting pada batubara. Mineral rich material yang hadir pada
bagian floor dari peat swamp kemungkinan dihasilkan aktivitas bioturbasi dan
perbedaan kompaksi.
Wind borne
mineral matter : biasanya berhubungan dengan coal swamp yang dekat dengan wilayah
vulkanik aktif. Asosiasi litologi : flint clays, tonsteins. Jika peristiwa
vulkanik singkat dan tersebar luas, wind-borne mineral matter akan berguna
sebagai stratigraphic marker.
Authigenic Mineral adalah mineral yang
tercampur kedalam gambut selama atau setelah pengendapan, atau kedalam batubara
selama coalification. Endapan mineral biasanya terdapat sebagai sebaran atau
agregat, sedangkan mineral-rich fluids yang ada selama tahap akhir dari
coalification cenderung mengendapkan mineral pada joints dan celah lain di
batubara. Produk umum dari mineralisasi adalah mineral mineral calcium-iron,
seperti calcite, ankerite, siderite dan pyrite, dan silica
dalam bentuk kuarsa.
Unsur sulphur biasanya hadir di setiap batubara,
biasanya hadir dalam fraksi organic, sedangkan fraksi anorganiknya hadir dalam
bentuk pyrite. Pyrite dapat hadir sebagai mineral detrital primer ataupun
pyrite sekunder sebagai hasil dari reduksi sulfur di air laut, jadi ada
pemikiran yang kuat tentang hubungan antara batubara dengan sulfur tinggi
dan lingkungan pengendapan marine.
Mineral lempung rata-rata menyusun 60-80% dari jumlah
mineral matter total dalam batubara. Mineral lempung bisa berasal dari detrital
ataupun sekunder, terbentuk dari larutan aqueous. Kondisi kimia pada tempat pengendapan juga mempengaruhi
tipe dari mineral lempung yang berasosiasi dalam batubara. Secara khusus, rawa air tawar dengan pH
rendah akan cenderung menghasilkan alterasi insitu dari smectites, illite dan
mixed-layers clays to kaolinite. Umumnya, illite merupakan mineral lempung yang
dominant pada kondisi marine, sementara pada kondisi nonmarine, mineral lempung
yang dominant adalah kaolinite.
Mineral lempung terjadi dalam batubara dengan 2 cara :
tonsteins atau seagai inclusi dalam litotipe maceral. Tonsteins terbentuk
dari proses detrital atau authigenic, berasosiasi dengan aktivitas vulkanik,
biasanyan mengandung kaolinite, smectite dan mixed-layer clays dengan mineral
aksesoris.
Clay mineral dapat mengkontaminsasi seluruh
microlitohtype. Mineral lempung < 20% (by volume) disebut sebagai contaminated
by clay, 20-60% carbargillite, > 60% udah bukan batubara, tapi argillaceous
shale.
Mineral lempung mempunyai sifat mengembang jika
terkena air. Swelling disertai dengan pengurangan kekuatan dan penghancuran
mengakibatkan ketidakstabilan dalam penambangan.
Kandungan mineral matter pada batubara dan batuan
disekelilingnya akan membpengaruhi sifat dari coal roof dan floor, dan pada
kasus khusus akan resistance atau response terhadap air. Hal ini juga
mempengaruhi komposisi dari debut tambang dengan diamenter kurang dari 5
mikron, khususnya dalam penambangan bawah tanah. Jumlah quarsa yang signifikan
akan berakibat timbulnya penyakit silicosis.
Kandungan mineral matter jua akan mempengaruhi kepada
pencucian batubara dan hasilnya, dan kandungan ash pada clean coal. Keberadaan
campuran mineral matter mempengaruhi kecocokan batubara sebagai bahanbakar
boiler, titik lebur abu yang rendah menyebabkan endapan debu dan korosi pada
dapur pemanas dan konveksi pada boiler. Kehadiran mineral fosofor dalam
batubara, yang biasanya dalam bentuk phoporite atau apatite menghasilkan ampas
bijih pada beberapa boiler dan baja yang dihasilkan dari batubara kaya akan
posfor cenderung britle.
Mineral halide separti klorida, sulfat dan nitrat hadir
dalam batubara biasanya sebagai produk infiltrasi diendapkan dari air asin yang
bermigrasi melalui sediment sequence. Mineral halide akan menjadi hal
yang signifikan pada operasi penambangan, contoh nitrate akan menyebabkan
korosi yang serius, clorin menyebabkan corosi juga pada boiler.
2.
Coalification(Rank)
2.1.Coalification
Coalification adalah perubahan vegetasi membentuk
gambut, diakhiri dengan transformasi gambut menjadi lignit, subbituminus,
bituminous, semi anthracite, anthracite dan meta anthracite. Derajat
transformasi tersebut dikenal dengan istilah rank. Proses coalification
pada dasarnya diawali dengan fasa biokimia yang diikuti dangan fasa geokimia
atau metamorfik.
Fasa biokimia mencakup proses-proses yang terjadi pada
rawa gambut yang mengikuti deposition dan burial, yaitu selama diagenesis.
Proses ini ada sebelum tahapan hardbrowncoal dicapai. Perubahan biokimia yang
paling intensif terjadi pada kedalaman yang sanagat dangkal dari rawa gambut.
Pada kondisi ini utamanya terjadi pembentukan aktivitas bakteri yang
mendegradasi gambut, dan yang dapat dibantu dengan kecpatan burial, pH dan
level muka airtanah. Dengan bertambahnya burial, aktivitas bakteri berakhir,
dan diperkirakan absent pada kedalaman lebih dari 10m. Kompinen yang kaya akan
karbon dan kandungan volatile dari gambut sedikit berpengaruh pada proses
biokimia, bagaimanapun, dengan bertambahnya kompaksi pada gambut, kandungan
lengas berkurang dan jumlah kalori bertambah.
Dari tahapan browncoal, perubahan material organic terjadi
sangat kuat dan dapat disebut sebagai metamorphism. Batubara lebih bereaksi
untuk berubah karena tempreatur dan tekanan lebih cepat dari mineral pada
batuan, oleh karenanya batubara dapat mengindikasikan derajat metamorfisme pada
sequence yang memperlihatkan perubahan mineralogic.
Pada tahapan geokimia atau metamorfik, perubahan pada
batubara yang terjadi adalah penambahan kandungan karbon, pengurangan kandungan
hydrogen dan oksigen dan menghasilkan hilangnya zat terbang. Hal ini diteruskan
dengan kehilangan air dan kompaksi, menghasilkan pengurangan volume batubara.
Produk dari tahap ini adalah methane, karbondioksida
dan air, air sangat mudah hilang, dan perbandingan methane : karbondioksida
bertambang sesuai rank. Perubahan sifat fisik dan kimia dari batubara ini dalam
kenyataanya merupakan perubahan kandungan bawaan batubara. Selama proses
coalification, tiga group maceral menjadi kaya akan karbon. Setiap group
maceral yaitu exinite, vitrinie, dan inertinite mengikuti jalan coalifikasi
yang berbeda. Properti petrografik dari vitrinite berubah seiring bertambahnya
rank.
Pada cahaya yang dipantulkan reflektansi vitrinit
makin bertambah, sebaliknya, pada cahaya transmisi, material organic menjadi
opak, dan struktur tumbuhan makin sulit dikenali. Propeti optic dari vitrinit
ini telah dapat digunakan sebagai indicator rank.
Selama proses coalification, batubara sapropelic
mengalami perubahan yang sama dengan komponen liptiniti batubara humic. Pada
tahapan gambut, batubara sapropelic diperkaya hydrogen relative terhadap humic,
tapi pada tahapan selanjutnya komposisi kimia dari boghead, cannel dan batubara
humic sama. Selama proses coalification jumlah signifikan dari bitumen dapat
dihasilkan sari sapropelic coals.
2.2. Penyebab
Coalification
Penyebab coalificasi yang paling utama adalah
penambahan temperature dan waktu selama proses ini terjadi.
2.2.1. Perubahan temperature
Perubahan temperature dapat dicapai
dengan 2 jalan. Pertama dengan kontak langsung batubara dengan material
batuan beku, baik sebagai intrusi minor atau deep seated intrusion. Dengan
kondisi ini batubara akan memperlihatkan kehilangan zat terbang, oksigen,
metan, dan air, dan sediment disekelilingnya akan memperlihatkan bukti metamorf
kontak, seperti perkembangan rank yang lebih tinggi di tempat tertentu.
Kedua, perubahan temperature dapat terjadi
dengan penambahan kedalaman burial, dimana temperature akan semakin naik
sebanding dengan naiknya kedalaman burial. Penambahan kedalaman dari burial
menghasilkan pengurangan kandungan oksigen dari batubara dan menambah
perbandingan karbon tertambat terhadap zat terbang.
Hilt(1873) mengamati fenomena ini dan mengeluarkan HUKUM
HILT : dalam urutan vertical, pada satu tempat di lapangan batubara, rank
dari coal seam bertambah seiting bertambahnya kedalaman. Kecepatan kenaikan
rank, yag dikenal sebagai rank gradient, tergantung dari gradient geothermal
dan konduktivitas panas dari batuan.
2.2.2.
Waktu
Temperatur coalification biasanya lebih rendah dari
temperature eksperimen. Untuk mencapai rank yang tinggi, temperature yang
tinggi deperlukan dengan kecepatan pemanansan yang tinggi (metamorf kontak)
daripadan slower heating rates(subsidence dan kedalaman burial)
Ketika temperatur sangat rendah terjadi selama waktu
yang lama, coalifikasi akan terjadi hanya sebagian kecil. Pengaruh temperature
oleh karenanya akan lebih besar pada temperature yang lebih tinggi. Time akan
mempunyai efek yang nyata ketika temperaturnya cukup tinggi untuk terjadinya
reaksi kimia.
2.2.3.
Tekanan
Pengaruh tekanan lebih besar selama proses kompaksi
dan lebih berarti pada tahapan gambut-subbituminous, pada saat pengurangan
porositas dan reduksi kandungan lemngas. Stach(1982) menyatakan bahwa tekanan
mendorong terjadinya “physico-structural coalification”, sebaliknya, penambahan
temperature mempercepat “coalificasi kimia”. Dengan berangsurnya penurunan
batubara, keduap pengaruh tersebut berjalan parallel, tapi kadang kadan physico
structural coalification mendahului checimal coalification. Chemical
coalification akan meningkat jika panas tambahan tersuplaikan. dengan
bertambahnya chemical coalification, tekanan mempunyai pengaruh yang kecil.
2.2.4.
Radioactivity
Peningkatan rank oleh
radioaktivitas jarang diamati, hanya secara microscopik diseketiar uranium atau
thorium.
2.3. Coal Quality
Kualitas batubara adalah sifat fisika dan kimia dari
batubara yang mempengaruhi potensi kegunaanya. Kualitas dari batubara
ditentukan oleh penyusun maceral dan mineral matternya, dan juga oleh derajat
coalification (rank).
2.3.1.
Sifat kimia dari batubara
Dalam istilah sederhana, batubara dapat diutarakan
tersusun dari moisture, pure coal dan mineral matter. Moisture terdiri dari
surface moisture dan chemically bound moisture yang terdiri dari pure coal
mencerminkan jumlah organic matter yang hadir. Mineral matter merupakan jumlah
fraksi anorganik yang ketika terjadi pembakaran akan menjadi ash. Analisa batubara sering dilaporkan sebagai analisa proksimat dan analisa
ultimat. Analisa proksimat adalah anlisa kasar yang menentukan
jumlah :
Ø Moisture,
Ø Volatile matter,
Ø Karbon tertambat dan
Ø Ash.
Analisa ultimate adalah penentuan elemen kimia pada
batubara seperti :
Ø Karbon.
Ø Hydrogen.
Ø Oksigen.
Ø Nitrogen.
Ø Sulphur.
Ø Tambahan :elemen lainyang
berguna untuk kegunaan batubara : sulphure, klorin, fosfor, dan
analisa dari
elemen yang menyusun kandungan mineral matter dari batubara, dan unsur jarang.
2.3.1.1. Dasar-dasar analisa data
Analisis batubara (table 2.12) dapat dilaporkan
sebagai :
1. As received basis (a.r.)
atau as sampled. Data tersebut mengungkapkan sebaggai presentasi batubara
termasuk kandungan moisture total, yaitu surface moisture dan air-dried
moisture content.
2. Air dried basis (a.d.b.) =
inherent moisture basis data ini mencerminkan presentase dari air-dried coal;
termasuk air dried moisture, tapi tidak surface moisture.
3. Dry basis (dry). Data ini
mencerminkan prosentasi dari batubara setelah semua moisturenya dihilangkan.
4. Dry ash-free basis (d.a.f)
Data ini mempertimbangkan kandungan volatile matter dan karbon tertambat dengan
moisture dan ash dihilangkan. Mesti diingat tidak boleh ada vaolatil matter
dari mineral yang ada pada air-dried coal. Laporan ini digunakan sebagai cara
paling mudah untuk membandingkan fraksi organic dari batubara.
5. Dry, mineral matter free
(d.m.m.f.) Di sini diperlukan jumlah total mineral matter daripada penentuan
jumlah ash, jadi jumlah volatile matter pada mineral matter dapat dihilangkan.
2.3.1.2. Moisture (lengas)
1. Surface moisture :ini merupakan lengas
tambahan (adventitious), tidak asli berasal dari batubara, dan dapat
dihilangkana dengan pengeringan udara 400 C. Tahap pengeringan ini
biasanya merupakan tahap pertama dari analisa apapun, dan moisture yang tersisa
setelah pengeringan ini adalah air-dried moisture.
2. As received atau as
delivered moisture : ini merupakan moisture total dari sample batubara ketika diterima atau
dikirim ke laboratorium. Biasanya lab akan mengeringkan batubara dengan udara,
dan dengan begitu akan diperoleh “loss on air drying”. Hasil ini kemudian
ditambah dengan air dried moisture mengahasilkan as delivered moisture.
3. Total moisture. Ini semua moisture yang
dapat dihilangkan dengan pengeringan (1500 C pada vakum atau
nitrogen atmosfer).
4. Air dried moisture- lihat no 1.
Kandungan moisture yang tinggi tidak dikehendaik pada
batubara, sebagaimana moisture ini secara kimia inert dan menyerap panas selama
pembakaran, dan membuat kesulitan pada saat pengiriman dan transport. Moisture
juga merendahkan nilai kalori pada steam coal, dan menurunkan jumlah karbon
yang ada di coking coal.
2.3.1.3. Ash
Kandungan ash dari batubara berarti residue anorganik
yang tersisa setelah pembakaran. mesti diingat bahwa menentukan kandungan ash
tidak sama dengan kandungan mineral matter pada batubara. Pada steam coal, kandungan
ash yang tinggi akan mengurangi jumlah kalor. Kandungan ash yang
direkomendasikan untuk steam coal yang digunakan sebagai pulverized fuel adalah
sekitar 20% (air dried), tapi untuk stoker-fired boilers bisa lebih rendah.
Untuk coking coals, maksimum 10-20% (air-dried). Konsentrasi ash yang lebih
tinggi akan mengurangi efisiensi tungku pembakaran.
2.3.1.4. Volatile Matter
(kandungan gas dan uap)
Volatile matter mencerminkan bahwa komponen dari
batubara, kecuali moisture, yang terbebaskan pada temperature tinggi tanpa
udara. Material ini umumnya berasal dari fraksi organic dari batubara, tapi
sebagian kecil bisa juga dari mineral matter yang ada. Untuk pembangkit listrik
pada pulverized fuel firing, boilers didisain untuk jumlah volatile maater
minimum 20-25% (d.a.f). Pada stoker firing untuk pembangkit
listrik 25-40%(d.a.f.) Tidak ada batasan yang jelas untuk penggunaan batubara
untuk semen. Untuk coke production 20-35%(air-dried).
2.3.1.5. Fixed Carbon
Kandungan karbon tertambat pada batubara adalah karbon
yang ditemukan pada residue yang tersisa setelah volatile matter telah
dibebaskan. Fixed carbon tidak ditentukan secara langsung, tapi didapat dari
pengurangan presentasi component, yaitu moisture, ash dan volatile matter lain
terhadap 100%.
2.3.2.
Analisa ultimate
Analisa ultimate dari batubara terdiri dari penentuan
karbon dan hydrogen sebagai produk gas, dari pembakaran sempurna, penentuan
sulfur, nitrogen dan ash dalam material secara keseluruahan, dan perhitungan
oksigen dari selisihnya.
Carbon dan hydrogen. Dibebaskan
sebagai CO2 dan H2O ketika batubara dibakar. CO2 bisa berasal dari mineral
karbonat yang ada, dan H2O bisa berasal dari mineral lempung atau inherent
moisture pada air-dried coal atau pada keduanya.
Nitrogen. kandungan nitrogen dari batubara
merupakan hal yang signifikan, khususnya dengan hubungan polusi udara.
jadi batubara dengan nitrogen yang rendah lebih diharapkan pada industri. Batubara tidak boleh mengandung nitrogen lebih dari 1.5-2.0% (d.a.f.)
Sulphur. sebagaimana nitrogen, kandungan sulfur
dari batubara menyebabkan masalah degnan polusi dan kegunaan. Sulfur
menyebabkan korosi dan pengotoran pada pipa boiler dan mneyebabkan polusi udara
ketika dikeluarkan sebagai asap cerobong. Sulfur dapat hadir di batubara dalam
3 bentuk:
a. Sulfur organic, hadir pada
senyawa organic pada batubara.
b. Pyritic sulfur, hadir
sebagai mineral sulfide pada batubara, pada dasarnya iron pyrite.
c. Mineral sulfat, biasanya
hydrous iron atau kalsium sulfat, dihasilkan dari oksidasi fraksi sulfide pada
batubara.
Kandungan total dari sulfur pada steam coal yang
digunakan untuk pembangkit listrik tidak boleh melebihi 0.8-1 % (air-dried);
jumlah maksimum tergantung dari peraturan emisi local. Pada industri
semen, total sulfur > 2% masih diterima, tapi..di coking coals
diperlukan maksimum 0.8% (air-dried) karenan value yang lebih tinggi
mempengaruhi kualitas baja.
Oksigen. Oksigen merupakan komponen dari
banyak campuran organic dan anorganik pada batubara, sebagaimana kandungan
moisture. Ketika batubara teroksidasi, oksigen dapat hadir sebagai oksida,
hidroksida dan mineral sulfat, seperti material orgaink yang teroksidasi. Perlu
diingat bahwa oksigen merupakan indicator penting rank coal.
2.3.3.
Sifat-sifat pembakaran
batubara
Test pembakaran dilakukan untuk menentukan performan
coal dalam tungku pembakaran, yaitu jumlah kalori dan temperatru titik lebur
abu. Caking dan coking properties diperlukan untuk batubara industri metalurgi.
2.3.3.1. Calorific Value
Calorivic value dari batubara adalah jumlah panas yang
dihasilkan per satuan masa dari batubara ketika dibakar. Kalorific value sama
juga dengan specific energy (Australia).
1 btu = 251.995 gram kalori Calorific value dinyatakan
dalam 2 cara :
a. Gross calorific atau higher
heating value. Ini merupakan jumlah panas yang dikeluarkan selama testing di
lap ketika batubara dibakar pada kondisi yang distandarkan pada volume tetap,
jadi semua air pada produk menyisakan bentuk likuid.
b. Net calorific atau lower
heating value. Selama pembakaran nyata di tungku, gross calorific value tidak
pernah tercapai, sebab beberapa produk, khusunya air hilang dengan penguapan.
Jumlah calorific yang dicapai pada kondisi ini adalah net calorific value pada
tekanan konstan. Net CV ini dapat dikalkulasi dan dinyatakan dalam joules,
calories pergram, atau Btu per pound. Persamaan yang telah disederhanakan :
Dalam MJ/kg
Net CV = Gross CV – 0,212 H – 0,024
M
Dalam kcal/kg
Net CV = gross CV – 50,7 H – 5.83 M
Dalam Btu/lb
Net CV = gross CV – 91.2H -10.5 M
dimana H = hydrogen (%), M =
moisture (%)
Sebagai approximate value, pada bituminous, gross as
received calorific value dapat di convert menjadi net as received dnegan
menambahkan 1,09 MJ/kg atau 260 kcal/kg atua 470 Btu. ash fusion temperatures
Bagaimana residu ash bereaksi pada
temperature tinggi dapat menjadi hal yang kritis dalam menentukan batubara
sebagai bahan bakar, yaitu bagaimana ash bereaksi ketika berada pada tungku
pembakaran atau boiler.
2.4. Klasifikasi
Batubara
Klasifikasi batubara
ditentukan berdasarkan sifat kimia batubra berhubungan dengan kegunaan
industri. Klasifikasi batubara telah dilakukan untuk keperluan keilmuan dan
untuk kegunaan batubara. Klasifikasi scientific menggunakan hubungan carbon/oksigen atau
karbon/hydrogen. Klasifikasi ini yang paling baik dibuat oleh Seyler(1899,
1931).
Klasifikasi untuk kegunaan batubara (komercial) yang
digunakan sekarang sering digunakan adalah klasifikasi ASTM 1977 (appendix 1).
Klasifikasi ini berdasarkan 2 sifat batubra, yaitu jumlah karbon padat (fixed
carbon) dan jumlah kalor (dalam d.m.m.f. basis). Klasifikasi batubara :
Ø Seylers classification : prosentase carbon dan
hidrogen, dihitung pada dry, mineral matter free basis : carbonaceous,
metabituminous, para bituminous, orto bituminous, meta lignitous,
orthobituminous.
Ø ASTM (american society for testing
and materials) classificatiom.
Ø International coal
clasification : karakter fisik dan kimia, jadi banyak digunakan untuk industri :1st digit,
2nd digit, 3rd digit.
Ø Australian standard coal
classification : 1st digit dst.
Ø National Coal Board
classification
Berdasarkan coking propertis dan volatile content :
threefigure numerical code, 100, 200 dan lain lain :
1. parr formula :
Dry,Mm-free FC =
(FC-0.15S)*100
100-(M+ 1.08 A + 0.55S)
Dry, Mm-free VM =
100-Dry, Mm-free FC
Moist, Mm-free Btu =
(Btu-50S)*100
100-(1.08A+0.55S)
Rank calculation.–The rank of
coal is to be calculated by using the following instructions which are quoted
from the standard specifications for classification of coals by rank (ASTM Standards,
1981, p. 212-216):
2.5. Calculation to Mineral-Matter-Free Basis
2.5.1.
Calculation of Fixed Carbon
and calorific value
For classification of coal according to rank, fixed
carbon and calorific value shall be calculated to the mineral-matter-free basis
in accordance with either the Parr formulas, Eqs 1, 2, and 3, or the
approximation formulas, Eqs 4, 5, and 6, that follow. In case of litigation use
the appropriate Parr Formula.
2.5.2. Calculation to Mm-free basis: Parr
Formulas:
Dry, Mm-free
FC=(FC-0.15S)/{100-(M+1.08A+0.55S)}*100 (1)
Dry, Mm-free VM=100-Dry,Mm-free FC (2)
Moist, Mm-free Btu=(Btu-50S)/{100-(1.08A+0.55S)}*100 (3)
Dry, Mm-free VM=100-Dry,Mm-free FC (2)
Moist, Mm-free Btu=(Btu-50S)/{100-(1.08A+0.55S)}*100 (3)
Note–The above formula
for fixed carbon is derived from the Parr formula for volatile matter.
Approximation Formulas. Dry, Mm-free FC=FC/{100-(M+1.1A+0.1S}*100 (4)
Dry, Mm-free VM=100-Dry,Mm-free FC (5)
Moist, Mm-free Btu=Btu/{100-1.1A+0.1S)}*100 (6)
Dry, Mm-free VM=100-Dry,Mm-free FC (5)
Moist, Mm-free Btu=Btu/{100-1.1A+0.1S)}*100 (6)
where
Mm = Mineral
matter,
Btu = British thermal units per pound (calorific
value),
FC = percentage of Fixed carbon, VM = percentage of volatile
matter,
M = percentage of moisture,
A = percentage of ash, and
S = percentage of sulfur.
Above quantities are all on the inherent moisture
basis. This basis refers to coal containing its natural inherent or bed
moisture but not including water adhering to the surface of the coal.
Btu = british termal unit perpoind = 1,8185*CV adb
2.6. Carbonization
Carbonization : proses pemanasan batubara pada
temberatur beberapa ratus derajat centigrade tanpa udara untuk menghasilkan :
Ø Padatan kaya akan karbon yang
disebut sebagai coke jika vesicular dan fused, dan char jika kurang
porous dan tidak melebur.
Ø Produk likuid, yant
tersusun dengan campuran hidrokarbon disebut tar dan larutan cari
mengandung materlia terurai : ammoniacal liquor.
Ø Hidrokarbon dan campuran
lain yang tersisa dalam bentuk gas pada pendinginan ke ttemperatur normal.
Kegunaan yang paling penting dali proses carbonization
adalah pada pabrik cokas untuk operasi metalurgi. Untuk
mengevaluasi kokas di berikan beberapa tes :
a. Crucible swelling number
(free swelling index).
b. Gray-king carbonization
assay and coke type :untuk menemukan jumlah gas, liquid dan padatan yang
dihasilkan dari batubara oleh carbonization.
c. Fischer carbonization assay.
d. Gieseler plastometer
3.
Depositional Models Of Coal
Bearing Sequences (Ward, 1984)
3.1.Allegheny
model
3.1.1.
Barrier and back-barrier
facies
Karakteristiknya dicirikan sebagai berikut :
a. Sequencenya dicirikan oleh
batupasir barrier orthoquarzite, endapan tidal delta dan tidal channel dan
coarsening upwards menjadi sequence lagoon dengan seam batubara tipis yang
terdistribusikan secara tak teratur.
b. Batupasir biasanya
berinterkalasi dengan red-brown to green calcareous shales dan batuan karbonat
dengan fosil marin, dan bersisipan ke arah darat dengan serpih lagoon
mengandung organisma brackish.
Tiga tipe endapan batupasir secara umum dapat
disebutkan :
1. Extensive sheets dari
plane-bedded orthoquartzite dengan rippled dan burrowed di permukaan bagian
atas, ini diinterpretasikan sebagai hasil storw washover deposits.
2. Wedge-shaped orthoquarzite
bodius mencapai ketebalan 6 meter dengan landward dipping plana atau
trough-shaped cross beds 45 samapai 60 cm tingginya. Ini diperkirakan sebagai
flood-tide delta deposits.
3. Channel-fill
orthoquarzites, biasanya berasosiasi dengan tipe sebelumnya, dan memperlihatkan
herringbone, throguh-shaped cross beds dan upward decrease in particle size.
Bisa menggerus sampai 12 meter kedalam strata dibawahnya, dan diinterpretasikan
sebagai tidal channel deposits.
Endapaan lagoon dari area back-barrier mengandung
serpih dan silt kaya akan organik, secara langsung ditutupi oleh batubara tipis
yang discontinous. Ketebalan dari endapan lagoon ini mencapai 7,5 – 25 meter
dengan penyebaran latera 5-25 km
3.1.2.
Lower delta plain facies
Karakteristiknya dicirikan sebagai berikut :
a. Endapan lower deltaplain di
model Allegheny didominasi dengan coarsening upwards sequences dari serpih dan
siltstone (gambara 5.17a) dengan ketebalan sequence 15-55 meter dan
penyebaran 8-110 km.
b. Di bagian dasar dari
sequence ini ditemukan dark grey to black shaley sediments mengandung fosil
marine-brackish dan burrowing.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar