Rabu, 04 Juli 2012

DESKRIPSI BATUBARA


1.      Penjelasan Umum
Batubara -> batuan yang mudah terbakar mengandung lebih dari 50% berat dan 70% volume material karbonan, termasuk lengas bawaan(inherent moisture). Secara umum, batubara dibedakan menjadi dua :
1.      Humic (tumbuhan darat).
2.      Sapropelic (tumbuhan air -> ganggang).

tumbuhan -> gambut : peatifikasi
gambut -> lignit -> subbituminous -> bituminous -> antrasit : coalification

Menurut Frenzel(1983) dan Boron et al.(1987), pembentukan gambut dapat diawali dengan:
1.      Terrestrialisation :replacement air oleh mire(Lumpur). Dapat terjadi di kolam, danau, lagoon, interdistributary bay, dll.
2.      Paludification yang merupakan penggantian dataran kering oleh mire(Lumpur) contoh ketika penaikan muka air tanah.

1.1. Gambaran Fisik batubara
Unsur utama batubara :
·         Maceral                 : persamaan dari mineral untuk organic.
·         Mineral matter       : fraksi anorganik yang tersusun atas variasi mineral primer dan sekunder.

Brown Coal : low coal rank seperti lignite dan subbituminus
Black atau Hard Coal : bituminous, semi antrasit dan antrasit.
Batubara dapat dibagi menjadi 2 grup utama :
a.       Humic Coals : terdiri dari berjenis jenis campuran debris tumbuhan makro, biasanya batubaranya mempunyai kenampakan banded(berpita).
b.      Sapropelic Coals : terdiri dari debris tumbuhan microscopic yang terbatas, biasanya batubara tampak homogen.
 
1.2. Deskripsi Makroskopik batubara
1.2.1.      Humic coals
Stopes(1919) mengajukan 4 tipe litological (LITHOTYPES) untuk mendescripsikan humic coals :
a.       Vitrain : hitam, brittle, glassy, vitreous material, terjadi sebagai band tipis
b.      Clarain : bright dengan kilap sutra pada laminasi halus
c.       Durain : abu smapai hitam dengan kilap tanah, pecah menjadi fragmen kasar dipermukaanya
d.      Fusain : hitam lembut, dapat diremas, mudah terpisah menjadi bubuk hitam berserat.

Namun sulit untuk menggunakan istilah ini untuk mendeskripsikan batubara di core atau singkapan, karena keempat lithotype tersebut biasanya terjadi sebagai lensa atau layer tipis, biasanya dalam ketebalan millimeter.

1.2.2.      Sapropecic Coals
Sapropelic coal biasanya berbutir halus, homogen, berwarna gelap dan memperlihatkan jejak conchoidal fracture. Bisa berasosiasi dengan humic ataupun berdiri sendiri. Tipe dari Sapropelic coal :
a.      Cannel Coal, terdiri dari utamanya miospore dan mud organic yang terbentang dibawah air, seperti di danau dangkal.
b.      Boghead Coal, batubara alga, seluruhnya berasal dari material alga. Boghead coal dapat bergradasi secara lateral atau vertical menjadi oil shales.

Transisi antara keduanya : cannel-boghead coal atua boghead-cannel. Biasanya sapropelic bisa dibedakan secara mikroskopik.

1.3. Deskripsi Mikroskopik batubara
Deskripsi mikroskopik dari batubara dianalisa berdasarkan MACERAL, yang dibagi menjadi 3 group (berdasarkan Stopes-Heerlen) :
a.       Huminite/vitrinite : material kayu.
b.      Exinite(liptinite) : spora, resin, cuticles.
c.       Inertinite : material tumbuhan yang teroksidasi
 
Kandungan Mineral dalam batubara
Mineral detrital adalah mineral2 yang tertransportasi ke swamp atau tanah berlumpur oleh udara atau air. Variasi yang besar dari mineral dapat ditemukan pada batubara, biasanya didominasi oleh kuarsa, karbonat, iron dan mineral lempung.

Watter borne mineral matter : tertransportasi kedalam coal swamps sepanjang channel yang memotong akumulasi debris organic. Ketika channel dalam keadaan banjir, detritus menebar pada top dari material organic dan peristiwa seperti ini biasanya menghasilkan mineral-rich parting pada batubara. Mineral rich material yang hadir pada bagian floor dari peat swamp kemungkinan dihasilkan aktivitas bioturbasi dan perbedaan kompaksi.

Wind borne mineral matter : biasanya berhubungan dengan coal swamp yang dekat dengan wilayah vulkanik aktif. Asosiasi litologi : flint clays, tonsteins. Jika peristiwa vulkanik singkat dan tersebar luas, wind-borne mineral matter akan berguna sebagai stratigraphic marker.

Authigenic Mineral adalah mineral yang tercampur kedalam gambut selama atau setelah pengendapan, atau kedalam batubara selama coalification. Endapan mineral biasanya terdapat sebagai sebaran atau agregat, sedangkan mineral-rich fluids yang ada selama tahap akhir dari coalification cenderung mengendapkan mineral pada joints dan celah lain di batubara. Produk umum dari mineralisasi adalah mineral mineral calcium-iron, seperti calcite, ankerite, siderite dan pyrite, dan silica dalam bentuk kuarsa.

Unsur sulphur biasanya hadir di setiap batubara, biasanya hadir dalam fraksi organic, sedangkan fraksi anorganiknya hadir dalam bentuk pyrite. Pyrite dapat hadir sebagai mineral detrital primer ataupun pyrite sekunder sebagai hasil dari reduksi sulfur di air laut, jadi ada pemikiran yang kuat tentang hubungan antara batubara dengan sulfur tinggi dan lingkungan pengendapan marine.

Mineral lempung rata-rata menyusun 60-80% dari jumlah mineral matter total dalam batubara. Mineral lempung bisa berasal dari detrital ataupun sekunder, terbentuk dari larutan aqueous. Kondisi kimia pada tempat pengendapan juga mempengaruhi tipe dari mineral lempung yang berasosiasi dalam batubara. Secara khusus, rawa air tawar dengan pH rendah akan cenderung menghasilkan alterasi insitu dari smectites, illite dan mixed-layers clays to kaolinite. Umumnya, illite merupakan mineral lempung yang dominant pada kondisi marine, sementara pada kondisi nonmarine, mineral lempung yang dominant adalah kaolinite.

Mineral lempung terjadi dalam batubara dengan 2 cara : tonsteins atau seagai inclusi dalam litotipe maceral. Tonsteins terbentuk dari proses detrital atau authigenic, berasosiasi dengan aktivitas vulkanik, biasanyan mengandung kaolinite, smectite dan mixed-layer clays dengan mineral aksesoris.

Clay mineral dapat mengkontaminsasi seluruh microlitohtype. Mineral lempung < 20% (by volume) disebut sebagai contaminated by clay, 20-60% carbargillite, > 60% udah bukan batubara, tapi argillaceous shale.

Mineral lempung mempunyai sifat mengembang jika terkena air. Swelling disertai dengan pengurangan kekuatan dan penghancuran mengakibatkan ketidakstabilan dalam penambangan.

Kandungan mineral matter pada batubara dan batuan disekelilingnya akan membpengaruhi sifat dari coal roof dan floor, dan pada kasus khusus akan resistance atau response terhadap air. Hal ini juga mempengaruhi komposisi dari debut tambang dengan diamenter kurang dari 5 mikron, khususnya dalam penambangan bawah tanah. Jumlah quarsa yang signifikan akan berakibat timbulnya penyakit silicosis.

Kandungan mineral matter jua akan mempengaruhi kepada pencucian batubara dan hasilnya, dan kandungan ash pada clean coal. Keberadaan campuran mineral matter mempengaruhi kecocokan batubara sebagai bahanbakar boiler, titik lebur abu yang rendah menyebabkan endapan debu dan korosi pada dapur pemanas dan konveksi pada boiler. Kehadiran mineral fosofor dalam batubara, yang biasanya dalam bentuk phoporite atau apatite menghasilkan ampas bijih pada beberapa boiler dan baja yang dihasilkan dari batubara kaya akan posfor cenderung britle.

Mineral halide separti klorida, sulfat dan nitrat hadir dalam batubara biasanya sebagai produk infiltrasi diendapkan dari air asin yang bermigrasi melalui sediment sequence. Mineral halide akan menjadi hal yang signifikan pada operasi penambangan, contoh nitrate akan menyebabkan korosi yang serius, clorin menyebabkan corosi juga pada boiler.

2.      Coalification(Rank)
2.1.Coalification
Coalification adalah perubahan vegetasi membentuk gambut, diakhiri dengan transformasi gambut menjadi lignit, subbituminus, bituminous, semi anthracite, anthracite dan meta anthracite. Derajat transformasi tersebut dikenal dengan istilah rank. Proses coalification pada dasarnya diawali dengan fasa biokimia yang diikuti dangan fasa geokimia atau metamorfik.

Fasa biokimia mencakup proses-proses yang terjadi pada rawa gambut yang mengikuti deposition dan burial, yaitu selama diagenesis. Proses ini ada sebelum tahapan hardbrowncoal dicapai. Perubahan biokimia yang paling intensif terjadi pada kedalaman yang sanagat dangkal dari rawa gambut. Pada kondisi ini utamanya terjadi pembentukan aktivitas bakteri yang mendegradasi gambut, dan yang dapat dibantu dengan kecpatan burial, pH dan level muka airtanah. Dengan bertambahnya burial, aktivitas bakteri berakhir, dan diperkirakan absent pada kedalaman lebih dari 10m. Kompinen yang kaya akan karbon dan kandungan volatile dari gambut sedikit berpengaruh pada proses biokimia, bagaimanapun, dengan bertambahnya kompaksi pada gambut, kandungan lengas berkurang dan jumlah kalori bertambah.

Dari tahapan browncoal, perubahan material organic terjadi sangat kuat dan dapat disebut sebagai metamorphism. Batubara lebih bereaksi untuk berubah karena tempreatur dan tekanan lebih cepat dari mineral pada batuan, oleh karenanya batubara dapat mengindikasikan derajat metamorfisme pada sequence yang memperlihatkan perubahan mineralogic.

Pada tahapan geokimia atau metamorfik, perubahan pada batubara yang terjadi adalah penambahan kandungan karbon, pengurangan kandungan hydrogen dan oksigen dan menghasilkan hilangnya zat terbang. Hal ini diteruskan dengan kehilangan air dan kompaksi, menghasilkan pengurangan volume batubara.

Produk dari tahap ini adalah methane, karbondioksida dan air, air sangat mudah hilang, dan perbandingan methane : karbondioksida bertambang sesuai rank. Perubahan sifat fisik dan kimia dari batubara ini dalam kenyataanya merupakan perubahan kandungan bawaan batubara. Selama proses coalification, tiga group maceral menjadi kaya akan karbon. Setiap group maceral yaitu exinite, vitrinie, dan inertinite mengikuti jalan coalifikasi yang berbeda. Properti petrografik dari vitrinite berubah seiring bertambahnya rank.

Pada cahaya yang dipantulkan reflektansi vitrinit makin bertambah, sebaliknya, pada cahaya transmisi, material organic menjadi opak, dan struktur tumbuhan makin sulit dikenali. Propeti optic dari vitrinit ini telah dapat digunakan sebagai indicator rank.

Selama proses coalification, batubara sapropelic mengalami perubahan yang sama dengan komponen liptiniti batubara humic. Pada tahapan gambut, batubara sapropelic diperkaya hydrogen relative terhadap humic, tapi pada tahapan selanjutnya komposisi kimia dari boghead, cannel dan batubara humic sama. Selama proses coalification jumlah signifikan dari bitumen dapat dihasilkan sari sapropelic coals.

2.2. Penyebab Coalification
Penyebab coalificasi yang paling utama adalah penambahan temperature dan waktu selama proses ini terjadi.
2.2.1.      Perubahan temperature
Perubahan temperature dapat dicapai dengan 2 jalan. Pertama dengan kontak langsung batubara dengan material batuan beku, baik sebagai intrusi minor atau deep seated intrusion. Dengan kondisi ini batubara akan memperlihatkan kehilangan zat terbang, oksigen, metan, dan air, dan sediment disekelilingnya akan memperlihatkan bukti metamorf kontak, seperti perkembangan rank yang lebih tinggi di tempat tertentu.

Kedua, perubahan temperature dapat terjadi dengan penambahan kedalaman burial, dimana temperature akan semakin naik sebanding dengan naiknya kedalaman burial. Penambahan kedalaman dari burial menghasilkan pengurangan kandungan oksigen dari batubara dan menambah perbandingan karbon tertambat terhadap zat terbang.

Hilt(1873) mengamati fenomena ini dan mengeluarkan HUKUM HILT : dalam urutan vertical, pada satu tempat di lapangan batubara, rank dari coal seam bertambah seiting bertambahnya kedalaman. Kecepatan kenaikan rank, yag dikenal sebagai rank gradient, tergantung dari gradient geothermal dan konduktivitas panas dari batuan.

2.2.2.      Waktu
Temperatur coalification biasanya lebih rendah dari temperature eksperimen. Untuk mencapai rank yang tinggi, temperature yang tinggi deperlukan dengan kecepatan pemanansan yang tinggi (metamorf kontak) daripadan slower heating rates(subsidence dan kedalaman burial)

Ketika temperatur sangat rendah terjadi selama waktu yang lama, coalifikasi akan terjadi hanya sebagian kecil. Pengaruh temperature oleh karenanya akan lebih besar pada temperature yang lebih tinggi. Time akan mempunyai efek yang nyata ketika temperaturnya cukup tinggi untuk terjadinya reaksi kimia.

2.2.3.      Tekanan
Pengaruh tekanan lebih besar selama proses kompaksi dan lebih berarti pada tahapan gambut-subbituminous, pada saat pengurangan porositas dan reduksi kandungan lemngas. Stach(1982) menyatakan bahwa tekanan mendorong terjadinya “physico-structural coalification”, sebaliknya, penambahan temperature mempercepat “coalificasi kimia”. Dengan berangsurnya penurunan batubara, keduap pengaruh tersebut berjalan parallel, tapi kadang kadan physico structural coalification mendahului checimal coalification. Chemical coalification akan meningkat jika panas tambahan tersuplaikan. dengan bertambahnya chemical coalification, tekanan mempunyai pengaruh yang kecil.

2.2.4.      Radioactivity
Peningkatan rank oleh radioaktivitas jarang diamati, hanya secara microscopik diseketiar uranium atau thorium.

2.3. Coal Quality
Kualitas batubara adalah sifat fisika dan kimia dari batubara yang mempengaruhi potensi kegunaanya. Kualitas dari batubara ditentukan oleh penyusun maceral dan mineral matternya, dan juga oleh derajat coalification (rank).

2.3.1.      Sifat kimia dari batubara
Dalam istilah sederhana, batubara dapat diutarakan tersusun dari moisture, pure coal dan mineral matter. Moisture terdiri dari surface moisture dan chemically bound moisture yang terdiri dari pure coal mencerminkan jumlah organic matter yang hadir. Mineral matter merupakan jumlah fraksi anorganik yang ketika terjadi pembakaran akan menjadi ash. Analisa batubara sering dilaporkan sebagai analisa proksimat dan analisa ultimat. Analisa proksimat adalah anlisa kasar yang menentukan jumlah :
Ø  Moisture,
Ø  Volatile matter,
Ø  Karbon tertambat dan
Ø  Ash.

Analisa ultimate adalah penentuan elemen kimia pada batubara seperti :
Ø  Karbon.
Ø  Hydrogen.
Ø  Oksigen.
Ø  Nitrogen.
Ø  Sulphur.
Ø  Tambahan :elemen lainyang berguna untuk kegunaan batubara : sulphure, klorin, fosfor, dan
    analisa dari elemen yang menyusun kandungan mineral matter dari batubara, dan unsur jarang.

2.3.1.1. Dasar-dasar analisa data
Analisis batubara (table 2.12) dapat dilaporkan sebagai :
1.  As received basis (a.r.) atau as sampled. Data tersebut mengungkapkan sebaggai presentasi batubara termasuk kandungan moisture total, yaitu surface moisture dan air-dried moisture content.
2.    Air dried basis (a.d.b.) = inherent moisture basis data ini mencerminkan presentase dari air-dried coal; termasuk air dried moisture, tapi tidak surface moisture.
3.  Dry basis (dry). Data ini mencerminkan prosentasi dari batubara setelah semua moisturenya dihilangkan.
4.  Dry ash-free basis (d.a.f) Data ini mempertimbangkan kandungan volatile matter dan karbon tertambat dengan moisture dan ash dihilangkan. Mesti diingat tidak boleh ada vaolatil matter dari mineral yang ada pada air-dried coal. Laporan ini digunakan sebagai cara paling mudah untuk membandingkan fraksi organic dari batubara.
5.  Dry, mineral matter free (d.m.m.f.) Di sini diperlukan jumlah total mineral matter daripada penentuan jumlah ash, jadi jumlah volatile matter pada mineral matter dapat dihilangkan.

2.3.1.2. Moisture (lengas)
1.     Surface moisture :ini merupakan lengas tambahan (adventitious), tidak asli berasal dari batubara, dan dapat dihilangkana dengan pengeringan udara 400 C. Tahap pengeringan ini biasanya merupakan tahap pertama dari analisa apapun, dan moisture yang tersisa setelah pengeringan ini adalah air-dried moisture.
2.  As received atau as delivered moisture : ini merupakan moisture total dari sample batubara ketika diterima atau dikirim ke laboratorium. Biasanya lab akan mengeringkan batubara dengan udara, dan dengan begitu akan diperoleh “loss on air drying”. Hasil ini kemudian ditambah dengan air dried moisture mengahasilkan as delivered moisture.
3.   Total moisture. Ini semua moisture yang dapat dihilangkan dengan pengeringan (1500 C pada vakum atau nitrogen atmosfer).
4.      Air dried moisture- lihat no 1.

Kandungan moisture yang tinggi tidak dikehendaik pada batubara, sebagaimana moisture ini secara kimia inert dan menyerap panas selama pembakaran, dan membuat kesulitan pada saat pengiriman dan transport. Moisture juga merendahkan nilai kalori pada steam coal, dan menurunkan jumlah karbon yang ada di coking coal.

2.3.1.3. Ash
Kandungan ash dari batubara berarti residue anorganik yang tersisa setelah pembakaran. mesti diingat bahwa menentukan kandungan ash tidak sama dengan kandungan mineral matter pada batubara. Pada steam coal, kandungan ash yang tinggi akan mengurangi jumlah kalor. Kandungan ash yang direkomendasikan untuk steam coal yang digunakan sebagai pulverized fuel adalah sekitar 20% (air dried), tapi untuk stoker-fired boilers bisa lebih rendah. Untuk coking coals, maksimum 10-20% (air-dried). Konsentrasi ash yang lebih tinggi akan mengurangi efisiensi tungku pembakaran.

2.3.1.4. Volatile Matter (kandungan gas dan uap)
Volatile matter mencerminkan bahwa komponen dari batubara, kecuali moisture, yang terbebaskan pada temperature tinggi tanpa udara. Material ini umumnya berasal dari fraksi organic dari batubara, tapi sebagian kecil bisa juga dari mineral matter yang ada. Untuk pembangkit listrik pada pulverized fuel firing, boilers didisain untuk jumlah volatile maater minimum 20-25% (d.a.f). Pada stoker firing untuk pembangkit listrik 25-40%(d.a.f.) Tidak ada batasan yang jelas untuk penggunaan batubara untuk semen. Untuk coke production 20-35%(air-dried).

2.3.1.5. Fixed Carbon
Kandungan karbon tertambat pada batubara adalah karbon yang ditemukan pada residue yang tersisa setelah volatile matter telah dibebaskan. Fixed carbon tidak ditentukan secara langsung, tapi didapat dari pengurangan presentasi component, yaitu moisture, ash dan volatile matter lain terhadap 100%.

2.3.2.      Analisa ultimate
Analisa ultimate dari batubara terdiri dari penentuan karbon dan hydrogen sebagai produk gas, dari pembakaran sempurna, penentuan sulfur, nitrogen dan ash dalam material secara keseluruahan, dan perhitungan oksigen dari selisihnya.

Carbon dan hydrogen. Dibebaskan sebagai CO2 dan H2O ketika batubara dibakar. CO2 bisa berasal dari mineral karbonat yang ada, dan H2O bisa berasal dari mineral lempung atau inherent moisture pada air-dried coal atau pada keduanya.

Nitrogen. kandungan nitrogen dari batubara merupakan hal yang signifikan, khususnya dengan hubungan polusi udara.  jadi batubara dengan nitrogen yang rendah lebih diharapkan pada industri. Batubara tidak boleh mengandung nitrogen lebih dari 1.5-2.0% (d.a.f.)

Sulphur. sebagaimana nitrogen, kandungan sulfur dari batubara menyebabkan masalah degnan polusi dan kegunaan. Sulfur menyebabkan korosi dan pengotoran pada pipa boiler dan mneyebabkan polusi udara ketika dikeluarkan sebagai asap cerobong. Sulfur dapat hadir di batubara dalam 3 bentuk:
a.       Sulfur organic, hadir pada senyawa organic pada batubara.
b.      Pyritic sulfur, hadir sebagai mineral sulfide pada batubara, pada dasarnya iron pyrite.
c.       Mineral sulfat, biasanya hydrous iron atau kalsium sulfat, dihasilkan dari oksidasi fraksi sulfide pada batubara.

Kandungan total dari sulfur pada steam coal yang digunakan untuk pembangkit listrik tidak boleh melebihi 0.8-1 % (air-dried); jumlah maksimum tergantung dari peraturan emisi local. Pada industri semen,  total sulfur > 2% masih diterima, tapi..di coking coals diperlukan maksimum 0.8% (air-dried) karenan value yang lebih tinggi mempengaruhi kualitas baja.

Oksigen. Oksigen merupakan komponen dari banyak campuran organic dan anorganik pada batubara, sebagaimana kandungan moisture. Ketika batubara teroksidasi, oksigen dapat hadir sebagai oksida, hidroksida dan mineral sulfat, seperti material orgaink yang teroksidasi. Perlu diingat bahwa oksigen merupakan indicator penting rank coal.

2.3.3.      Sifat-sifat pembakaran batubara
Test pembakaran dilakukan untuk menentukan performan coal dalam tungku pembakaran, yaitu jumlah kalori dan temperatru titik lebur abu. Caking dan coking properties diperlukan untuk batubara industri metalurgi.

2.3.3.1. Calorific Value
Calorivic value dari batubara adalah jumlah panas yang dihasilkan per satuan masa dari batubara ketika dibakar. Kalorific value sama juga dengan specific energy (Australia).
1 btu = 251.995 gram kalori Calorific value dinyatakan dalam 2 cara :
a.    Gross calorific atau higher heating value. Ini merupakan jumlah panas yang dikeluarkan selama testing di lap ketika batubara dibakar pada kondisi yang distandarkan pada volume tetap, jadi semua air pada produk menyisakan bentuk likuid.
b.    Net calorific atau lower heating value. Selama pembakaran nyata di tungku, gross calorific value tidak pernah tercapai, sebab beberapa produk, khusunya air hilang dengan penguapan. Jumlah calorific yang dicapai pada kondisi ini adalah net calorific value pada tekanan konstan. Net CV ini dapat dikalkulasi dan dinyatakan dalam joules, calories pergram, atau Btu per pound. Persamaan yang telah disederhanakan :
Dalam MJ/kg
Net CV = Gross CV – 0,212 H – 0,024 M

Dalam kcal/kg
Net CV = gross CV – 50,7 H – 5.83 M

Dalam Btu/lb
Net CV = gross CV – 91.2H -10.5 M
dimana H = hydrogen (%), M = moisture (%)

Sebagai approximate value, pada bituminous, gross as received calorific value dapat di convert menjadi net as received dnegan menambahkan 1,09 MJ/kg atau 260 kcal/kg atua 470 Btu. ash fusion temperatures

Bagaimana residu ash bereaksi pada temperature tinggi dapat menjadi hal yang kritis dalam menentukan batubara sebagai bahan bakar, yaitu bagaimana ash bereaksi ketika berada pada tungku pembakaran atau boiler.

2.4. Klasifikasi Batubara
Klasifikasi batubara ditentukan berdasarkan sifat kimia batubra berhubungan dengan kegunaan industri. Klasifikasi batubara telah dilakukan untuk keperluan keilmuan dan untuk kegunaan batubara. Klasifikasi scientific menggunakan hubungan carbon/oksigen atau karbon/hydrogen. Klasifikasi ini yang paling baik dibuat oleh Seyler(1899, 1931).

Klasifikasi untuk kegunaan batubara (komercial) yang digunakan sekarang sering digunakan adalah klasifikasi ASTM 1977 (appendix 1). Klasifikasi ini berdasarkan 2 sifat batubra, yaitu jumlah karbon padat (fixed carbon) dan jumlah kalor (dalam d.m.m.f. basis). Klasifikasi batubara :
Ø  Seylers classification : prosentase carbon dan hidrogen, dihitung pada dry, mineral matter free basis : carbonaceous, metabituminous, para bituminous, orto bituminous, meta lignitous, orthobituminous.
Ø  ASTM (american society for testing and materials) classificatiom.
Ø  International coal clasification : karakter fisik dan kimia, jadi banyak digunakan untuk industri :1st digit, 2nd digit, 3rd digit.
Ø  Australian standard coal classification : 1st digit dst.
Ø  National Coal Board classification

Berdasarkan coking propertis dan volatile content : threefigure numerical code, 100, 200 dan lain lain :
1.      parr formula :
Dry,Mm-free FC         = (FC-0.15S)*100            
   100-(M+ 1.08 A + 0.55S)
Dry, Mm-free VM      = 100-Dry, Mm-free FC
Moist, Mm-free Btu    =  (Btu-50S)*100          
    100-(1.08A+0.55S)

Rank calculation.–The rank of coal is to be calculated by using the following instructions which are quoted from the standard specifications for classification of coals by rank (ASTM Standards, 1981, p. 212-216):

2.5. Calculation to Mineral-Matter-Free Basis
2.5.1.      Calculation of Fixed Carbon and calorific value
For classification of coal according to rank, fixed carbon and calorific value shall be calculated to the mineral-matter-free basis in accordance with either the Parr formulas, Eqs 1, 2, and 3, or the approximation formulas, Eqs 4, 5, and 6, that follow. In case of litigation use the appropriate Parr Formula.
2.5.2.      Calculation to Mm-free basis: Parr Formulas:
Dry, Mm-free FC=(FC-0.15S)/{100-(M+1.08A+0.55S)}*100 (1)
Dry, Mm-free VM=100-Dry,Mm-free FC (2)
Moist, Mm-free Btu=(Btu-50S)/{100-(1.08A+0.55S)}*100 (3)
Note–The above formula for fixed carbon is derived from the Parr formula for volatile matter. Approximation Formulas. Dry, Mm-free FC=FC/{100-(M+1.1A+0.1S}*100 (4)
Dry, Mm-free VM=100-Dry,Mm-free FC (5)
Moist, Mm-free Btu=Btu/{100-1.1A+0.1S)}*100 (6)
where
Mm      = Mineral matter,
Btu = British thermal units per pound (calorific value),
FC = percentage of Fixed carbon, VM = percentage of volatile matter,
M = percentage of moisture,
A = percentage of ash, and
S = percentage of sulfur.

Above quantities are all on the inherent moisture basis. This basis refers to coal containing its natural inherent or bed moisture but not including water adhering to the surface of the coal.
Btu = british termal unit perpoind = 1,8185*CV adb

2.6. Carbonization
Carbonization : proses pemanasan batubara pada temberatur beberapa ratus derajat centigrade tanpa udara untuk menghasilkan :
Ø   Padatan kaya akan karbon yang disebut sebagai coke jika vesicular dan fused, dan char jika kurang porous dan tidak melebur.
Ø  Produk likuid, yant tersusun dengan campuran hidrokarbon disebut tar  dan larutan cari mengandung materlia terurai : ammoniacal liquor.
Ø   Hidrokarbon dan campuran lain yang tersisa dalam bentuk gas pada pendinginan ke ttemperatur normal.

Kegunaan yang paling penting dali proses carbonization adalah pada pabrik cokas untuk operasi metalurgi. Untuk mengevaluasi kokas di berikan beberapa tes :
a.       Crucible swelling number (free swelling index).
b.     Gray-king carbonization assay and coke type :untuk menemukan jumlah gas, liquid dan padatan yang dihasilkan dari batubara oleh carbonization.
c.       Fischer carbonization assay.
d.      Gieseler plastometer

3.      Depositional Models Of Coal Bearing Sequences (Ward, 1984)
3.1.Allegheny model
3.1.1.      Barrier and back-barrier facies
Karakteristiknya dicirikan sebagai berikut :
a.     Sequencenya dicirikan oleh batupasir barrier orthoquarzite, endapan tidal delta dan tidal channel dan coarsening upwards menjadi sequence lagoon dengan seam batubara tipis yang terdistribusikan secara tak teratur.
b.  Batupasir biasanya berinterkalasi dengan red-brown to green calcareous shales dan batuan karbonat dengan fosil marin, dan bersisipan ke arah darat dengan serpih lagoon mengandung organisma brackish.

Tiga tipe endapan batupasir secara umum dapat disebutkan :
1.  Extensive sheets dari plane-bedded orthoquartzite dengan rippled dan burrowed di permukaan bagian atas, ini diinterpretasikan sebagai hasil storw washover deposits.
2.   Wedge-shaped orthoquarzite bodius mencapai ketebalan 6 meter dengan landward dipping plana atau trough-shaped cross beds 45 samapai 60 cm tingginya. Ini diperkirakan sebagai flood-tide delta deposits.
3.   Channel-fill orthoquarzites, biasanya berasosiasi dengan tipe sebelumnya, dan memperlihatkan herringbone, throguh-shaped cross beds dan upward decrease in particle size. Bisa menggerus sampai 12 meter kedalam strata dibawahnya, dan diinterpretasikan sebagai tidal channel deposits.

Endapaan lagoon dari area back-barrier mengandung serpih dan silt kaya akan organik, secara langsung ditutupi oleh batubara tipis yang discontinous. Ketebalan dari endapan lagoon ini mencapai 7,5 – 25 meter dengan penyebaran latera 5-25 km

3.1.2.      Lower delta plain facies
Karakteristiknya dicirikan sebagai berikut :
a.      Endapan lower deltaplain di model Allegheny didominasi dengan coarsening upwards sequences dari serpih dan siltstone (gambara 5.17a) dengan ketebalan sequence 15-55 meter dan penyebaran 8-110 km.
b.   Di bagian dasar dari sequence ini ditemukan dark grey to black shaley sediments mengandung fosil marine-brackish dan burrowing.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar